1. Definisi Psikologi Pendidikan
‘Psiko’ sering
dikaitkan dengan perasaan, jiwa, mental, dan emosi dan‘psikologi’ pula adalah
kajian mengenai perasaan, jiwa, mental dan emosi. Kesemua takrifan itu adalah
persepsi pertama yang terlintas dalam pemikiran kita apabila mendengar
perkataan-perkataan tersebut. Bagaimanapun Kamus Dewan memberi maksud psikologi
sebagai kajian tentang proses mental dan pemikiran, terutamanya berhubung
dengan perlakuan manusia dan haiwan. Pola pemikiran dan perlakuan seseorang ataupun
sesuatu kumpulan tertentu dengan kebijaksanaan memahami sifat manusia.
1.1 Psikologi pendidikan
Pada asasnya, psikologi
pendidikan adalah sebuah disiplin psikologi yang khusus mempelajari, meneliti,
dan membahas seluruh tingkah laku manusia yang terlibat dalam proses pendidikan
yang meliputi tingkah laku belajar (oleh siswa), tingkah laku mengajar (oleh
guru), dan tingkah laku belajar mengajar (interaksi guru dan murid). Psikologi
pendidikan menurut sebahagian ahli psikologi merupakan sub disiplin psikologi
dan bukannya psikologi itu sendiri.
Menurut Arthur S. Reber
(1998) menyatakan psikologi pendidikan adalah sebuah sub disiplin ilmu
psikologi yang berkaitan dengan teori dan masalah kependidikan yang berguna
dalam hal-hal seperti penerapan prinsip-prinsip belajar dalam kelas,
pengembangan dan pembaharuan kurikulum, ujian dan evaluasi bakat dan kemampuan,
sosialisasi dan interaksi proses-proses tersebut denganpendayagunaan ranah
kognitif dan penyelenggaraan pendidikan keguruan.
Secara praktis, Barlow
(1985, dalam Tardif, 1987) mendefinisikan psikologi pendidikan sebagai sebuah
pengetahuan berdasarkan riset psikologis yang menyediakan serangkaian
sumber-sumber untuk membantu dan melaksanakan tugas sebagai seorang guru dalam
proses belajar mengajar secara lebih selektif. Dalam buku Educational
Psychology yang diterjemahkan Buchori (1978), psikologi pendidikan adalah studi
sistematis tentang proses-proses dan factor-faktor yang berhubungan dengan
pendidikan manusia.
Menurut Wikipedia,
Psikologi pendidikan merupakan kajian tentang bagaimana manusia belajar dalam
latar pendidikan, keberkesanan campur tangan pendidikan, psikologi pengajaran,
dan psikologi sosial sekolah sebagai pertubuhan. Walaupun istilah
"psikologi pendidikan" dan "psikologi sekolah" seringnya
digunakan sebagai sinonim untuk satu sama lain, para penyelidik dan ahli teori
cenderung dikenali sebagai ahli psikologi pendidikan, manakala pengamal di
sekolah atau dalam keadaan berkait sekolah dikenali sebagai ahli psikologi
sekolah. Psikologi pendidikan melibatkan diri tentang bagaimana pelajar belajar
dan berkembang, seringnya dengan menumpukan subkumpulan seperti kanak-kanak
bergeliga dan mereka yang kehilangan upaya.
Sebahagian psikologi
pendidikan dapat difahami menerusi hubungannya dengan disiplin-disiplin yang
lain, khususnya bidang psikologi. Ia memiliki hubungan dengan disiplin
psikologi yang seolah-olah hubungan antara perubatan dengan biologi, atau
kejuruteraan dengan fizik. Psikologi pendidikan pula menjelaskan berbagai-bagai
bidang dalam kajian pendidikan, termasuk reka bentuk pengajaran, teknologi
pendidikan, perkembangan kurikulum, pembelajaran organisasi,pendidikan khas,
dan pengurusan bilik darjah. Psikologi pendidikan meminjam daripada bidang
sains kognitif dan sains pembelajaran, serta dan menyumbang kepadanya. Di
universiti, jabatan psikologi pendidikan biasanya terletak di bawah fakulti
pendidikan dan disebabkan ini, mungkin mengakibatkan kekurangan kandungan
psikologi pendidikan dalam buku teks pengenalan psikologi.
1.2 Konsep-konsep asas
psikologi
Terdapat empat konsep yang menjadi asas kepada psikologi iaitu naluri,
keperluan, desakan dan motivasi yang setiap satunya mempunyai penjelasan yang
tersendiri.
Menurut Hilgard (1979)
naluri ialah kuasa semulajadi biologi yang mendorong seseorang bertindak
mengikut sesuatu cara. Fantino mentakrifkan naluri sebagai pola tingkah laku
yang semulajadi dan bukanlah sesuatu yang dipelajari. Naluri berlaku melalui
tiga peringkat iaitu adanya desakan untuk capai sesuatu tujuan tanpa apa-apa
rangsangan, pengetahuan sedia ada yg diwarisi utk capai tujuan tanpa dipelajari
atau membuat latihan dan bentuk tingkah laku adalah sama bagi semua ahli
kumpulan yang dikenali sbg ‘tingkah laku’.
Manusia mempunyai beberapa naluri antaranya naluri melarikan diri,
naluri melawan, naluri keibubapaan, naluri ingin tahu, naluri mencari makanan,
naluri minta tolong, naluri jijik, naluri kejantinaan, naluri memperagakan
diri, naluri merendah diri, naluri ingin memiliki, naluri meruntuh dan membina,
naluri ingin berkumpulan, naluri ketawa dan sebagainya. Naluri tersebut
dikenali sebagai naluri asas atau tersusun dalam diri manusia seterusnya
menjadi pengerak tingkah laku manusia dan asas kehidupan manusia.
Keperluan bermakna sesuatu yang dikehendaki oleh seseorang individu
untuk berfungsi secara berkesan. Abraham Maslow membahagikan keperluan kepada
dua kategori iaitu keperluan fisiologi atau hayat dan keperluan psikologi.
Keperluan fisiologi atau hayat merupakan keperluan yang wujud daripada
kekurangan atau keperluan organik seperti makanan, air, objek, dan seks.
Manakala keperluan psikologi wujud daripada hubungan antara organisma dan
manusia dengan persekitaran.
Desakan merupakan
fenomena dalaman yang dialami individu apabila berlaku ketidakseimbangan dalam badan.
Kekurangan sesuatu keperluan asas seperti makanan, minuman, udara, seks, dan
kasih sayang yang diperlukan oleh badan membentuk ketidakseimbangan. Kekurangan
ini mewujudkan desakan supaya kekurangan ini dapat dipenuhi. Terdapat tiga
jenis desakan utama yang dialami oleh individu iaitu desakan lapar yang
disebabkan oleh keperluan makanan, desakan dahaga yang disebabkan oleh
keperluan minuman iaitu air dan desakan seks yang disebabkan oleh keperluan
kejantinaan.
Motivasi atau
pergerakan ialah kecenderungan organism untuk menjalankan aktiviti yang
dirangsang oleh suatu insentif. Tingkah laku seperti ini wujud kerana
ketegangan fisiologi atau psikologi, dan menuju arah pencapaian satu-satu
matlamat. Motivasi wujud secara semulajadi dan ianya tidak diwarisi. Semakin
kuat keinginan untuk mencapai sesuatu, semakin tinggi motivasinya.
1.3 Ruang Lingkup
Psikologi Pendidikan
Jika kita bertanya mengenai lingkup (scope) psikologi pendidikan, maksudnya bertanya tentang apa saja yang dibicarakn oleh psikologi pendidikan, maka berdasarkan berbagai buku psikologi pendidikan akan diperoleh jawaban yang berbeda-beda. Sebagian buku menunjukan lingkup yang luas, sedangkan buku-buku yang lain menunjukkan ingkup yang lebih sempit atau terbatas.
Buku yang lingkupnya lebih luas biasanya membahas selain proses belajar juga membahas tentang perkembangan, hereditas dan lingkungan, kesehatan mental, evaluasi belajar dan sebagainya. Sedangkan buku yang lingkupnya lebih sempit biasanya berkisar pada soal proses belajar mengajar saja. Perbedaan ini sangat dipengaruhi oleh maksud penulis dalam menulis buku itu. Ada yang bermaksud hanya memberikan pengantar saja, sehingga pembahasanya mengenai lingkup itu cukup luas, akan tetapi kurang mendalam. Sebaliknya ada yang lingkup pembahasannya tidak luas, yaitu berkisar pada proses beljar, akan tetapi pembahasannya cukup mendalam. Jadi, beleh dikatakan bahwa tidak ada dua buku psikologi pendidikan yang menunjukkan ruang lingkup materi yang sama benar. Walaupun demikian, pada dasarnya psikologi pendidikan membahas hal-hal sebagai berikut
Jika kita bertanya mengenai lingkup (scope) psikologi pendidikan, maksudnya bertanya tentang apa saja yang dibicarakn oleh psikologi pendidikan, maka berdasarkan berbagai buku psikologi pendidikan akan diperoleh jawaban yang berbeda-beda. Sebagian buku menunjukan lingkup yang luas, sedangkan buku-buku yang lain menunjukkan ingkup yang lebih sempit atau terbatas.
Buku yang lingkupnya lebih luas biasanya membahas selain proses belajar juga membahas tentang perkembangan, hereditas dan lingkungan, kesehatan mental, evaluasi belajar dan sebagainya. Sedangkan buku yang lingkupnya lebih sempit biasanya berkisar pada soal proses belajar mengajar saja. Perbedaan ini sangat dipengaruhi oleh maksud penulis dalam menulis buku itu. Ada yang bermaksud hanya memberikan pengantar saja, sehingga pembahasanya mengenai lingkup itu cukup luas, akan tetapi kurang mendalam. Sebaliknya ada yang lingkup pembahasannya tidak luas, yaitu berkisar pada proses beljar, akan tetapi pembahasannya cukup mendalam. Jadi, beleh dikatakan bahwa tidak ada dua buku psikologi pendidikan yang menunjukkan ruang lingkup materi yang sama benar. Walaupun demikian, pada dasarnya psikologi pendidikan membahas hal-hal sebagai berikut
a)
Hereditas dan Lingkungan
b) Pertumbuhan dan Perkembangan
c) Potensial dan Karakteristik Tingkah laku
d) Hasil Proses Pendidikan dan Pengaruhnya Terhadap Individu yang Bersifat Personal dan Sosial
e) Higiene Mental dan Pendidikan dan
f) Evaluasi Hasil Pendidikan
b) Pertumbuhan dan Perkembangan
c) Potensial dan Karakteristik Tingkah laku
d) Hasil Proses Pendidikan dan Pengaruhnya Terhadap Individu yang Bersifat Personal dan Sosial
e) Higiene Mental dan Pendidikan dan
f) Evaluasi Hasil Pendidikan
Disamping itu perlu diketahui bahwa
banyak buku psikologi pendidikan yang tidak member judul buku dengan kata-kata
psikologi pendidikan, padahal buku itu benar-benar buku psikologi pendidikan,
dalam arti buku itu membahas serta mendalami pokok-pokok bahasan tertentu dari
psikologi pendidikan. Maka untuk mendalami psikologi pendidikan tidak senantisa
harus mempelajari buku yang berjudul psikologi pendidikan.
Namun menurut Sumadi Suryobroto ( 1987 ) Ruang Lingkup psikologi pendidikan meliputi;
Namun menurut Sumadi Suryobroto ( 1987 ) Ruang Lingkup psikologi pendidikan meliputi;
• Pengetahuan tentang
psikologi pendidikan : pengertian ruang lingkup, tujuan mempelajari dan sejarah
munculnya psikologi pendidikan
• Pembawaaan
• Lingkungan fisik dan psikologis
• Perkembangan siswa
• Proses – proses tingkah laku
• Hakekat dan ruang lingkup belajar
• Faktor yang mempengaruhi belajar
• Hukum dan teori belajar
• Pengukuran pendidikan
• Aspek praktis pengukuran pendidikan
• Transfer belajar
• Ilmu statistik dasar
• Kesehatan mental
• Pendidikan membentuk watak / kepribadian
• Kurikulum pendidikan sekolah dasar
• Kurikulum pendidikan sekolah menengah
• Pembawaaan
• Lingkungan fisik dan psikologis
• Perkembangan siswa
• Proses – proses tingkah laku
• Hakekat dan ruang lingkup belajar
• Faktor yang mempengaruhi belajar
• Hukum dan teori belajar
• Pengukuran pendidikan
• Aspek praktis pengukuran pendidikan
• Transfer belajar
• Ilmu statistik dasar
• Kesehatan mental
• Pendidikan membentuk watak / kepribadian
• Kurikulum pendidikan sekolah dasar
• Kurikulum pendidikan sekolah menengah
1.4 Peran Psikologi terhadap Pendidikan
Tidak
bisa dipungkiri lagi bahwa sudah sejak lama bidang psikologi pendidikan telah
digunakan sebagai landasan dalam pengembangan teori dan praktek pendidikan dan
telah memberikan kontribusi yang besar terhadap pendidikan, diantaranya
terhadap pengembangan kurikulum, sistem pembelajaran dan sistem penilaian.
1.4.1 Kontribusi Psikologi
Pendidikan terhadap Pengembangan Kurikulum.
Kajian psikologi pendidikan dalam kaitannya dengan pengembangan kurikulum pendidikan terutama berkenaan dengan pemahaman aspek-aspek perilaku dalam konteks belajar mengajar. Terlepas dari berbagai aliran psikologi yang mewarnai pendidikan, pada intinya kajian psikologis ini memberikan perhatian terhadap bagaimana in put, proses dan out pendidikan dapat berjalan dengan tidak mengabaikan aspek perilaku dan kepribadian peserta didik.
Secara psikologis, manusia merupakan individu yang unik. Dengan demikian, kajian psikologis dalam pengembangan kurikulum seyogyanya memperhatikan keunikan yang dimiliki oleh setiap individu, baik ditinjau dari segi tingkat kecerdasan, kemampuan, sikap, motivasi, perasaaan serta karakterisktik - karakteristik individu lainnya.
Kurikulum pendidikan seyogyanya mampu menyediakan kesempatan kepada setiap individu untuk dapat berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya, baik dalam hal subject matter maupun metode penyampaiannya.
Kajian psikologi pendidikan dalam kaitannya dengan pengembangan kurikulum pendidikan terutama berkenaan dengan pemahaman aspek-aspek perilaku dalam konteks belajar mengajar. Terlepas dari berbagai aliran psikologi yang mewarnai pendidikan, pada intinya kajian psikologis ini memberikan perhatian terhadap bagaimana in put, proses dan out pendidikan dapat berjalan dengan tidak mengabaikan aspek perilaku dan kepribadian peserta didik.
Secara psikologis, manusia merupakan individu yang unik. Dengan demikian, kajian psikologis dalam pengembangan kurikulum seyogyanya memperhatikan keunikan yang dimiliki oleh setiap individu, baik ditinjau dari segi tingkat kecerdasan, kemampuan, sikap, motivasi, perasaaan serta karakterisktik - karakteristik individu lainnya.
Kurikulum pendidikan seyogyanya mampu menyediakan kesempatan kepada setiap individu untuk dapat berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya, baik dalam hal subject matter maupun metode penyampaiannya.
Secara khusus, dalam konteks pendidikan di Indonesia saat ini,
kurikulum yang dikembangkan saat ini adalah kurikulum berbasis kompetensi, yang
pada intinya menekankan pada upaya pengembangan pengetahuan, keterampilan, dan
nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak.
Kebiasaan berfikir dan bertindak secara konsisten dan terus menerus
memungkinkan seseorang menjadi kompeten, dalam arti memiliki pengetahuan,
keterampilan, dan nilai-nilai dasar untuk melakukan sesuatu.
Dengan demikian dalam pengembangan kurikulum berbasis
kompetensi, kajian psikologis terutama berkenaan dengan aspek-aspek: (1)
kemampuan siswa melakukan sesuatu dalam berbagai konteks; (2) pengalaman
belajar siswa; (3) hasil belajar (learning outcomes), dan (4) standarisasi kemampuan siswa.
1.4.2 Kontribusi Psikologi
Pendidikan terhadap Sistem Pembelajaran
Kajian psikologi pendidikan telah melahirkan berbagai
teori yang mendasari sistem pembelajaran. Kita mengenal adanya sejumlah teori
dalam pembelajaran, seperti : teori classical conditioning, connectionism,
operant conditioning, gestalt, teori daya, teori kognitif dan teori-teori
pembelajaran lainnya. Terlepas dari kontroversi yang menyertai kelemahan dari
masing masing teori tersebut, pada kenyataannya teori-teori tersebut telah
memberikan sumbangan yang signifikan dalam proses pembelajaran.
Di samping itu, kajian psikologi pendidikan telah melahirkan
pula sejumlah prinsip-prinsip yang melandasi kegiatan pembelajaran Nasution (Daeng
Sudirwo,2002) mengetengahkan tiga belas prinsip dalam belajar, yakni :
1. Agar seorang benar-benar belajar, ia harus mempunyai suatu
tujuan
2. Tujuan itu harus timbul dari atau berhubungan dengan
kebutuhan hidupnya dan bukan karena dipaksakan oleh orang lain.
3. Orang itu harus bersedia mengalami bermacam-macam
kesulitan dan berusaha dengan tekun untuk mencapai tujuan yang berharga
baginya.
4. Belajar itu harus terbukti dari perubahan kelakuannya.
5. Selain tujuan pokok yang hendak dicapai, diperolehnya pula
hasil sambilan.
6. Belajar lebih berhasil dengan jalan berbuat atau
melakukan.
7. Seseorang belajar sebagai keseluruhan, tidak hanya aspek
intelektual namun termasuk pula aspek emosional, sosial, etis dan sebagainya.
Seseorang memerlukan bantuan dan bimbingan dari orang lain.
Seseorang memerlukan bantuan dan bimbingan dari orang lain.
8. Untuk belajar diperlukan insight. Apa yang dipelajari
harus benar-benar dipahami. Belajar bukan sekedar menghafal fakta lepas secara
verbalistis.
9. Disamping mengejar tujuan belajar yang sebenarnya,
seseorang sering mengejar tujuan-tujuan lain.
10. Belajar lebih berhasil, apabila usaha itu memberi sukses
yang menyenangkan.
11. Ulangan dan latihan perlu akan tetapi harus didahului
oleh pemahaman.
12. Belajar hanya
mungkin kalau ada kemauan dan hasrat untuk belajar.
1.4.3 Kontribusi Psikologi
Pendidikan terhadap Sistem Penilaian
Penilaiain pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam
pendidikan guna memahami seberapa jauh tingkat keberhasilan pendidikan. Melaui
kajian psikologis kita dapat memahami perkembangan perilaku apa saja yang
diperoleh peserta didik setelah mengikuti kegiatan pendidikan atau pembelajaran
tertentu.
Di samping itu, kajian psikologis telah memberikan sumbangan
nyata dalam pengukuran potensi-potensi yang dimiliki oleh setiap peserta didik,
terutama setelah dikembangkannya berbagai tes psikologis, baik untuk mengukur
tingkat kecerdasan, bakat maupun kepribadian individu lainnya.Kita mengenal
sejumlah tes psikologis yang saat ini masih banyak digunakan untuk mengukur
potensi seorang individu, seperti Multiple Aptitude Test (MAT), Differensial
Aptitude Tes (DAT), EPPS dan alat ukur lainnya.
Pemahaman kecerdasan, bakat, minat dan aspek kepribadian lainnya
melalui pengukuran psikologis, memiliki arti penting bagi upaya pengembangan
proses pendidikan individu yang bersangkutan sehingga pada gilirannya dapat
dicapai perkembangan individu yang optimal.
2. Gejala
Psikologi
Setiap orang mempunyai
sisi psikologis dimana sisi ini berdampak pada hal-hal tindakannya. Atau bisa
disebut gejala jiwa. Dalam pendidikan pun gejala jiwa manusia yang
mendasar banyak muncul. Gejala jiwa tersebut akan mempengaruhi berbagai
perilaku manusia, baik perilaku pendidik maupun perilaku peserta didik
atau siswa. Dalam tulisan ini akan dibahas bagaimana gejala jiwa tersebut
mempengaruhi kemampuan belajar siswa.
Gejala jiwa yang ada pada diri manusia sangat mempengaruhi perilakunya.
Tidak terlepas dalam dunia pendidikan yaitu pada pendidik maupun peserta didik
(dalam tulisan ini hanya membahas peserta didik). Dari uraian di atas dapat
kita simpulkan bahwa, Gejala Psikologi yaitu proses perubahan perilaku manusia
dalam kehidupannya.
2.1 Bentuk-bentuk
Gejala Psikologi Siswa Dalam Belajar
Dalam
psikologi terdapat berbagai gejala-gejala yang berhubungan dengan kegiatan
belajar siswa, diantaranya yang akan kita bahas yaitu: 1) Pengindraan/sensasi
dan persepsi; 2) Memori, ingatan, dan lupa; 3) Berfikir; 4) Intelegensi; 5)
gejala perasaan (emosi); 6) Motivasi.
1. Pengindraan/sensasi
dan persepsi
a. Pengindraan
Kemampuan
otak untuk menerjemahkan stimulus seorang anak satu sama lain berbeda-beda,
tidak semua stimulus dapat diindra. Begitu pelajaran yang disampaikan guru
tidak semua bisa ditangkap oleh siswa, persepsi pun akan berlainan. Hal ini
juga mempengaruhi kemampuan belajar.
Definisi penginderaan (sensation) menurut Wundt adalah penangkapan
terhadap rangsang-rangsang dari luar dan dapat dianalisa sampai elemen-elemen
yang terkecil. Penginderaan meliputi :
1). Penglihatan
Alat
penglihatan utama adalah mata. Rangsang berupa gelombang cahaya masuk ke dalam
bola mata melalui bagian-bagian mata. Prosesnya cahaya masuk ke retina
diteruskan berupa impuls menuju ke syaraf (otak) sehingga objek
dapat terlihat.
2). Pendengaran
Alat
pendengaran utama adalah telinga. Rangsang berupa gelombang suara masuk ke
dalam telinga melalui bagian-bagian alat pendengaran.Gelombang suara merambat
melalui 3 media, yaitu udara, benda padat/tulang, cairan/endolymphe
Bila seseorang tidak dapat mendengar, maka ada kemungkinan kerusakan
pada pusat pendengaran yang menyebabkan gangguan fungsi intelek atau pada salah
satu alat tempat berjalannya/penerus rangsang (conductive deafness) yang tidak
ada hubungannya dengan fungsi intelek.
3). Pengecap
Alat
pengecap utama adalah lidah. Rangsang berupa larutan cairan melalui lidah
(lingua) dan rongga mulut (cavumroris). Prosesnya adalah larutan/cairan
diterima lidah masuk ke rongga mulut diteruskan nervus ke-9 menuju gyrus
centralis posterior (pusat sensibilitas di kulit otak). Reseptor pada lidah ada
4 jenis penerima rangsang, yaitu : rasa manis, pahit, asin dan asam.
4). Pembau
Alat
pembau utama adalah hidung. Rangsang berupa hawa/udara/bau melalui
udara menuju ke reseptor yang ada di rongga hidung (cavum nasalis). Prosesnya
adalah bau diterima oleh rongga hidung diteruskan oleh nervus ke-1 (saraf
pembau) menuju gyrus centralis posterior (pusat sensibilitas di kulit otak).
5). Perabaan
Alat
perabaan utama adalah kulit. Rangsang yang diterima tubuh manusia dapat berupa
rangsang : mekanis, thermis, chemis, elektris, suara, cahaya. Perabaan adalah
ransang mekanis ringan pada bagian permukaan tubuh, khususnya yang tidak
berambut seperti telapak kaki, bibir,dll. Reseptornya adalah corpuscula
meissner dan corpuscula pacini.
b. Persepsi
Persepsi adalah sebuah proses
saat ataupun kimiawi yang mengenai alat indra. individu mengatur dan
menginterpretasikan kesan-kesan sensoris mereka guna memberikan arti bagi
lingkungan mereka. Perilaku individu seringkali
didasarkan pada persepsi mereka tentang kenyataan, bukan pada kenyataan itu
sendiri.
Definisi persepsi menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia adalah tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu atau
proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca inderanya. Persepsi
menurut Davidoff dalam Walgito (1997) : stimulus yang diindera oleh individu
diorganisasikan, kemudian diinterpretasikan sehingga individu sadar, mengerti
tentang apa yang diinderakan. Individu dapat mengadakan persepsi, jika
adanya objek, alat indera (reseptor), dan perhatian. Contoh persepsi
misalnya meja yang terasa kasar, yang berarti sebuah sensasi dari rabaan
terhadap meja.
2. Memori,
ingatan, dan lupa
Setiap
hari kita memilki banyak aktivitas, berbagai informasi kita peroleh setiap
harinya. Untuk memunculkan kembali informasi-informasi tersebut terkait dengan
kerja memori atau otak. Dalam kenyataan, kemampuan otak manusia berbeda-beda.
Siswapun seperti itu. Kemampuan otak untuk memasukkan, menyimpan,
memunculkan kembali informasi yang didapatkan (pelajaran misalnya) mempengaruhi
kemampuan belajar si anak tersebut.
a. Memori
Memori
merupakan simpanan informasi - informasi yang diperoleh dan diserap dari
lingkungan yang kemudian diolah sesuai dengan individu yang
bersangkutan. Memory juga merupakan suatu proses biologi, yakni informasi
diberi kode dan dipanggil kembali. Pada dasarnya juga memory adalah sesuatu
yang membentuk jati diri manusia dan membedakan manusia dari mahluk hidup
lainnya. Memory memberi manusia kemampuan mengingat masa lalu, dan perkiraan
pada masa depan. Memory merupakan kumpulan reaksi elektrokimia yang rumit yang
diaktifkan melalui beragam saluran indrawi dan disimpan dalam jaringan syaraf
yang sangat rumit dan unik di seluruh bagian otak. Memory yang sifatnya dinamis
ini terus berubah dan berkembang sejalan dengan bertambahnya informasi yang
disimpan.Secara umum usaha-usaha untuk meningkatkan kemampuan memori harus
memenuhi tiga ketentuan sebagai berikut:
1). Proses
memori bukanlah suatu usaha yang mudah. Mekanisme dalam proses mengingat sangat
membantu organisme dalam menghadapi berbagai persoalan sehari-hari. Seseorang
dikatakan “belajar dari pengalaman” karena ia mampu menggunakan berbagai
informasi yang telah diterimanya di masa lalu untuk memecahkan berbagai
persoalan yang dihadapinya saat ini.
2). Bahan-bahan
yang akan diingat harus berhubungan. Memori sangat dibantu bila informasi yang
dipelajari mempunyai kaitan dengan hal-hasl yang sudah dikenal sebelumnya.
Konteks dapat berupa peristiwa, tempat, nama sesuatu, perasaan tertentu dan
lain-lain. Konteks ini memberikan retrievel cues atau karena itu mempermudah
recognition.
3). Proses
memori memerlukan organisasi. Salah satu pengorganisasian informasi yang sangat
dikenal adalah memori. Informasi diorganisasi sedemikian rupa (dihubungkan dengan
hal-hal yang sudah dikenal) sehingga informasi yang kompleks mudah untuk
diingat kembali.
b. Ingatan
Secara
sederhana, Irwanto (1999) mendefinisikan ingatan sebagai kemampuan untuk
menyimpan informasi sehingga dapat digunakan lagi di masa yang akan datang.
Galotti (2004) mendefinisikan memori sebagai suatu proses kognitif yang terdiri
atas serangkaian proses, yakni : penyimpanan (storage), retensi, dan
pengumpulan informasi (information gathering).
Sebagai
suatu proses, memori menunjukkan suatu mekanisme dinamik yang diasosiasikan
dengan penyimpanan (storing), pengambilan (retaining), dan pemanggilan kembali
(retrieving) informasi mengenai pengalaman yang lalu (Bjorklund, Schneider,
& Hernández Blasi, 2003; Crowder, 1976, dalam Stenberg, 2006). Santrock
(2005) mendefinisikan ingatan sebagai retensi informasi yang telah diterima
melalui tahap : penkodean (encoding), penyimpanan (storage), dan pemanggilan
kembali (retrieval). Penelitian ini menggunakan definisi ingatan menurut
Santrock, yaitu informasi-informasi yang berasal dari lingkungan dan informasi
ini akan diproses
melalui tahapan :
penkodean, penyimpanan, dan pemanggilan kembali sehingga informasi yang masuk
tidak terbuang secara sia – sia.
c. Lupa
Lupa (forgetting)
ialah hilangnya kemampuan untuk menyebut atau memproduksi kembali apa-apa yang
sebelumnya telah kita pelajari. Gulo (1982) dan Reber (1988) mendefinisikan
lupa sebagai ketidakmampuan mengenal atau mengingat sesuatu yang pernah
dipelajari atau dialami. Jadi lupa bukanlah peristiwa hilangnya item informasi
dan pengetahuan dari akal kita.
Faktor-faktor Penyebab Lupa :
a. Lupa
dapat terjadi karena gangguan konflik antara item-item informasi atau materi
yang ada dalam sistem memori.
b. Lupa
dapat terjadi pada karena adanya tekanan terhadap item yang telah ada, baik
sengaja ataupun tidak. Penekanan ini dapat terjadi karena item informasi yang
berupa pengetahuan tanggapan atau kesan dan sebagainya yang diterima siswa
kurang menyenangkan, sehingga ia dengan sengaja menekannya sehingga ke alam
ketidaksadaran.
c. Lupa
dapat terjadi karena perubahan situasi lingkungan antara waktu belajar dengan
waktu mengingat kembali (Andreson 1990). Contoh lupa ini sering terjadi pada
siswa (kita) yang menerapkan metode belajar SKS (Sistem Kebut
Semalam) Kita belajar ngebut malam ini,
memasukkan semua pelajaran dalam sekali kunyah kedalam otak. Nah, ketika tes
keesokan harinya, apa yang telah diingat dan pelajari (walaupun pelajaran
minggu lalu) bisa hilang, diakibatkan dari apa yang telah kita pelajari
semalam.
d. Lupa
dapat terjadi karena perubahan sikap dan minat terhadap proses dan situasi
belajar tertentu..
e. Lupa
dapat terjadi karena materi pelajaran yang telah dikuasai tidak pernah
digunakan atau dihafalkan (Hilgard & Bower 1975)
f. Lupa
dapat tejadi karena perubahan urat syaraf otak
3. Berfikir
Pemecahan
masalah merupakan bagian dari proses berpikir.
Sering dianggap merupakan proses paling kompleks di antara semua fungsi kecerdasan,
pemecahan masalah telah didefinisikan sebagai proses kognitif tingkat
tinggi yang memerlukan modulasi dan kontrol lebih dari
keterampilan-keterampilan rutin atau dasar. Proses ini terjadi jika suatu organisme atau
sistem kecerdasan
buatan tidak mengetahui bagaimana untuk bergerak dari
suatu kondisi awal menuju kondisi yang dituju. Berfikir kreatif sangat berperan
dalam pemecahan masalah. [5]Menurut
Graham Wallas (dalam Morgan, at al. 1989), proses berfikir kreatif meliputi
lima tahap, yaitu Persiapan (Preparation), Inkubasi (Incubation), Iluminasi
(Ilumation), Evaluasi (Evaluation), Revisi (Revision).
Definisi
yang paling umum dari berfikir adalah berkembangnya ide dan konsep (Bochenski,
dalam Suriasumantri (ed), 1983:52) di dalam diri seseorang. Perkembangan ide
dan konsep ini berlangsung melalui proses penjalinan hubungan antara
bagian-bagian informasi yang tersimpan di dalam didi seseorang yang berupa
pengertian-perngertian. Dari gambaran ini dapat dilihat bahwa berfikir pada
dasarnya adalah proses psikologis dengan tahapan-tahapan berikut : (1)
pembentukan pengertian, (2) penjalinan pengertian-pengertian, dan (3) penarikan
kesimpulan.
4. Intelegensi
Setelah
kita membahas tentang berpikir, maka kaitan dengan masalah berpikir adalah
inteligensi. Secara umum inteligensi adalah kesanggupan untuk berpikir. Ada beberapa
pendapat tentang pengertian inteligensi.
a. William
Stern mengatakan, bahwa inteligensi adalah kesanggupan jiwa untuk dapat
menyesuaikan diri dengan situasi-situasi baru.
b. V.
Hees, bahwa inteligensi adalah sifat kcerdasan jiwa.
c. Terman
mengatakan, inteligensi adalah kesanggupan untuk belajar secara abstrak.
d. Binet
mengatakan bahwa inteligensi meliputi pengertian penemuan sesuatu yang
baru, ketetapan hati dan pengertian diri sendiri.
e. Staedworth
mengatakan inteligensi ada 3 aspek yaitu pengenalan sesuatu yang penting,
penyusunan diri dengan situasi baru dan ingatan.
f. Wittherington
mengatakan, inteligensi adalah suatu konsep, suatu pengertian.
g. Menurut David
Wechsler, inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir
secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif.
Dari berbagai definisi
intelegensi yang dikemukakan oleh ahli-ahli yang berbeda-beda, para ahli
sepakat memandang intelegensi sebagai kemampuan berfiki seseorang. Yaitu dalam
menyesuaikan diri, belajar, atau berpikir abstrak. Intelegensi juga
mempengeruhi kemampuan belajar seseorang. Secara garis besar dapat disimpulkan
bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir
secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara
langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang
merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu.
5. Emosi
Istilah
emosi menurut Daniel Goleman (1995), seorang pakar kecerdasan emosional, yang
diambil dari Oxford English Dictionary memaknai emosi sebagai setiap
kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu, setiap keadaan mental yang
hebat dan meluap-luap. Atau dapat kita pahami bahwa emosi itu merupakan
suatu gejolak atau rasa yang terjadi dalam hati/perasaan yang terjadi karena
ada suatu rangsangan yang diberikan pada saat kita dalam keadaan mental yang
hebat.
Adapula
yang mengatakan emosi itu adalah suatu perasaan intens yang ditujukan
kepada seseorang atau sesuatu. Emosi adalah reaksi terhadap seseorang atau
kejadian. Emosi dapat ditunjukkan ketika merasa senang mengenai sesuatu,
marah kepada seseorang, ataupun takut terhadap sesuatu.
6. Motivasi
Motivasi
adalah keadaan dalam diri subjek didik yang mendorongnya untuk melakukan
aktivitas-aktivitas tertentu. Motivasi boleh jadi timbul dari rangsangan luar,
seperti pemberian hadiah bila seseorang dapat menyelesaikan satu tugas dengan
baik. Motivasi semacam ini sering disebut motivasi ekstrensik. Tetapi tidak
jarang pula motivasi tumbuh di dalam diri subjek didik sendiri yang disebut
motivasi intrinsik. Misalnya, seorang subjek didik gemar membaca karena dia
memang ingin mengetahui lebih dalam tentang sesuatu.
Menurut
Baron (1992), Motivasi adalah proses yang memberi semangat, arah, dan kegigihan
perilaku. Artinya, perilaku yang termotivasi adalah perilaku yang penuh energi,
terarah, dan bertahan lama. Kekuatan yang memberikan energi dan
mengarahkan perilaku untuk mencapai tujuan. Keadaan internal yang mendorong,
mengarahkan, dan mempertahankan perilaku. Berikut adalah pengertian motivasi
dari berbagai perspektif dalam psikologi.
Dalam
konteks belajar, motivasi intrinsik tentu selalu lebih baik, dan biasanya
berjangka panjang. Tetapi dalam keadaan motivasi intrinsik tidak cukup
potensial pada subjek didik, pendidik perlu menyiasati hadirnya
motivasi-motivasi ekstrinsik. Motivasi ini, umpamanya, bisa dihadirkan melalui
penciptaan suasana kompetitif di antara individu maupun kelompok subjek didik.
Suasana ini akan mendorong subjek didik untuk berjuang atau berlomba melebihi
yang lain.Namun demikian, pendidik harus memonitor suasana ini secara ketat
agar tidak mengarah kepada hal-hal yang negatif.
Motivasi
ekstrinsik bisa juga dihadirkan melalui siasat “self competition”, yakni
menghadirkan grafik prestasi individual subjek didik. Melalui grafik ini,
setiap subjek didik dapat melihat kemajuan-kemajuannya sendiri. Dan sekaligus
membandingkannya dengan kemajuan yang dicapai teman-temannya.Dengan melihat
grafik ini, subjek didik akan terdorong untuk meningkatkan prestasinya supaya
tidak berada di bawah prestasi orang lain.
Jenis-jenis Motivasi
a. Motivasi Intrinsik
Motivasi
intrinsik adalah motivasi internal untuk melakukan sesuatu demi sesuatu itu
sendiri (tujuan itu sendiri), motivasi yang didasarkan pada sebuah ‘nilai’ dari
kegiatan yang dilakukan tanpa melihat penghargaan dari luar. Misalnya: Murid
mungkin belajar menghadapi ujian karena dia senang pada mata pelajaran yang
diujikan itu sendiri. Ada 2 jenis motivasi intrinsik:
1). Determinasi diri
Dalam
pandangan ini, murid ingin percaya bahwa mereka melakukan sesuatu karena
kemauan sendiri, bukan karena kesuksesan atau imbalan eksternal. Disini,
motivasi internal dan minat intrinsik dalam tugas sekolah naik apabila murid
punya pilihan dan peluang untuk mengambil tanggung jawab personal atas
pembelajaran mereka.
2). Pilihan personal
Pengalaman
optimal ini berupa perasaan senang dan bahagia yang besar. Pengalaman optimal
ini kebanyakan terjadi ketika orang merasa mampu menguasai dan berkonsentrasi
penuh saat melakukan suatu aktivitas. Pengalaman optimal ini terjadi ketika
individu terlibat dalam tantangan yang mereka anggap tidak terlalu sulit tetapi
juga tidak terlalu mudah.
b. Motivasi Ekstrinsik
Motivasi
ekstrinsik adalah melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu yang lain (cara
untuk mencapai tujuan). Motivasi entrinsik ini sering dipengaruhi oleh insentif
eksternal seperti imbalan (reward) dan hukuman. Imbalan eksternal dapat berguna
untuk mengubah perilaku. Fungsi imbalan adalah sebagai insentif agar mau
mengerjakan tugas, di mana tujuannya adalah mengontrol perilaku murid.
Contohnya : guru memberi reward permen kalau murid bisa menjawab pertanyaan
dengan baik. Tetapi tentu kita juga menginginkan motivasi siswa adalah motivasi
yang memang berasal dari dirinya sendiri (intrinsik), hal ini bisa dilakukan
dengan cara memberikan hadiah yang mengandung informasi tentang kemampuan murid
sehingga motivasi instrinsik dapat meningkat, kenapa? Karena dengan memberikan
pujian dapat juga meningkatkan perasaan bahwa diri mereka kompeten.
3.1 Konsep dasar perbedaan individu
a. Pengertian
individu
Manusia adalah mahluk yang dapat dipandang dari
berbagai sudut pandang . Sejak ratusan tahun sebelum masehi, manusia telah
menjadi obyek filsafat, baik obyek formal yang mempersoalkan hakikat manusia
maupun obyek material yang mempersoalkan manusia sebagai apa adanya manusia
dengan berbagai kondisinya. Sebagaimana dikenal adanya manusia sebagai mahluk
yang berpikir atau homo sapiens, mahluk yang berbuat atau homo faber, mahluk
yang dapat dididik atau homo educandum dan seterusnya.
Dalam kamus echols & shadaly (1975), individu adalah kata benda dari
individual yang berarti orang, perseorangan, dan oknum. Berdasarkan pengertian
di atas dapat dibentuk suatu lingkungan untuk anak yang dapat merangsang
perkembangan potensi-potensi yang dimilikinya dan akan
membawaperubahan-perubahan apa saja yang diinginkan dalam kebiasaan dan
sikap-sikapnya.
Dalam pertumbuhan dan perkembangannya, manusia mempunyai
kebutuhan-kebutuhan. . Pada awal kehidupannya bagi seorang bayi mementingkan
kebutuhan jasmaninya, ia belum peduli dengan apa saja yang terjadi diluar
dirinya. Ia sudah senang bila kebutuhan fisiknya sudah terpenuhi. Dalam
perkembangan selanjutnya maka ia akan mulai mengenal lingkungannya, membutuhkan
alat komunikasi (bahasa), membutuhkan teman, keamanan dan seterusnya. Semakin
besar anak tersebut semakin banyak kebutuhan non fisik atau psikologis yang
dibutuhkannya.
b. Karakteristik Individu
Setiap individu memiliki ciri dan sifat atau
karakteristik bawaan (heredity) dan karakteristik yang memperoleh dari pengaruh
lingkungan. Karakteristik bawaan merupakan karakteristik keturunan yang
dimiliki sejak lahir, baik yang menyangkut faktor biologis maupun faktor sosial
psikologis. Kepribadian, prilaku apa yang diperkuat, dipikirkan, dan dirasakan
oleh seseorang (individu) merupakan ha sil diri perpduan antara factor biologis
sebagaimana unsure bawaan dan pengaruh lingkungan.
Natur dan nature merupakan istilah yang biasa
digunakan untuk menjelaskan karakteristik-karakteristik individu dalam hal
fisik, mental, dan emosional pada setiap tingkat perkembangan. Seorang bayi
yang baru lahir merupakan hasil dari dua garis keluarga, yaitu garis keturunan
ayah dan garis keturunan ibu. Sejak terjadinya pembuahan atau konsepsi
kehidupan yang baru, maka secara berkesinambungan dipengaruhi oelh
bermacam-macam faktor lingkungan yang merangsang.
c. Perbedaan individu
Dalam aspek perkembangan individu, dikenal ada dua fakta yang menonjol,
yaitu:
1. Semua diri manusia mempunyai
unsur-unsur kesamaan didalam pola perkembangannya
2. Di dalam pola yang bersifat umum dari
apa yang membentuk warisan manusia secara biologis dan sosial tiap-tiap
individu mempunyai kecenderungan berbeda. Perbedaan-perbedaan tersebut secara
keseluruhan lebih banyak bersifat kuantitatif dan bukan kualitatif.
Beberapa segi perbedaan individual yang perlu mendapat perhatian ialah
perbedaan dalam:
1. Kecerdasan
2. kecakapan;
3. hasil belajar;
4. bakat;
5. sikap;
6. kebiasaan;
7. pengetahuan;
8. kepribadian;
9. cita-cita;
10. kebutuhan;
11. minat;
12. pola-pola dan tempo
perkembangan;
13. ciri-ciri jasmaniah;
14. latar belakang lingkungan.
B. Perkembangan individu
Perkembangan dapat diartikan sebagai perubahan yang
sistematis, progresif dan berkesinambungan dalam diri individu sejak lahir
hingga akhir hayatnya atau dapat diartikan pula sebagai perubahan – perubahan
yang dialami individu menuju tingkat kedewasaan atau kematangannya.
1. Sistematis
Sistematis adalah bahwa perubahan dalam perkembangan
itu bersifat saling kebergantungan atau saling mempengaruhi antara satu bagian
dengan bagian lainnya, baik fisik maupun psikis dan merupakan satu kesatuan
yang harmonis. Contoh : kemampuan berbicara seseorang akan sejalan dengan kematangan
dalam perkembangan intelektual atau kognitifnya. Kemampuan berjalan seseorang
akan seiring dengan kesiapan otot-otot kaki. Begitu juga ketertarikan seorang
remaja terhadap jenis kelamin lain akan seiring dengan kematangan organ-organ
seksualnya.
Progresif berarti perubahan yang terjadi bersifat maju, meningkat dan
meluas, baik secara kuantitatif (fisik) mapun kualitatif (psikis). Contoh :
perubahan proporsi dan ukuran fisik (dari pendek menjadi tinggi dan dari kecil
menjadi besar); perubahan pengetahuan dan keterampilan dari sederhana sampai
kepada yang kompleks (mulai dari mengenal huruf sampai dengan kemampuan membaca
buku).
2. Berkesinambungan
Berkesinambungan artinya bahwa perubahan pada bagian
atau fungsi organisme itu berlangsung secara beraturan atau berurutan. Contoh :
untuk dapat berdiri, seorang anak terlebih dahulu harus menguasai tahapan
perkembangan sebelumnya yaitu kemampuan duduk dan merangkak.
3. Ciri-ciri
perkembangan individu
Perkembangan individu mempunyai ciri-ciri umum sebagai berikut :
1. Terjadinya perubahan dalam aspek :
Fisik; seperti : berat dan tinggi badan.
Psikis; seperti : berbicara dan berfikir.
2. Terjadinya perubahan dalam proporsi.
Fisik; seperti : proporsi tubuh anak berubah sesuai dengan fase
perkembangannya.
Psikis; seperti : perubahan imajinasi dari fantasi ke realistis.
3. Lenyapnya tanda-tanda yang lama.
Fisik; seperti: rambut-rambut halus dan gigi susu, kelenjar thymus dan
kelenjar pineal.
Psikis; seperti : lenyapnya masa mengoceh, perilaku impulsif.
4. Diperolehnya tanda-tanda baru.
Fisik; seperti : pergantian gigi dan karakteristik sex pada usia remaja,
seperti kumis dan jakun pada laki dan tumbuh payudara dan menstruasi pada
wanita, tumbuh uban pada masa tua.
Psikis; seperti berkembangnya rasa ingin tahu, terutama yang berkaitan
dengan sex, ilmu pengetahuan, nilai-nilai moral dan keyakinan beragama.
4. Prinsip-prinsip
perkembangan inidividu
Prinip- prinsip perkembangan individu, yaitu :
1. Perkembangan merupakan proses yang
tidak pernah berhenti.
2. Semua aspek perkembangan saling
berhubungan.
3. Perkembangan terjadi pada tempo yang
berlainan.
4. Setiap fase perkembangan mempunyai
ciri khas.
5. Setiap individu normal akan mengalami
tahapan perkembangan.
6. Perkembangan mengikuti pola atau arah
tertentu.
7. Bagaimana pola atau arah perkembangan
inidividu.
Arah atau pola perkembangan sebagai berikut :
1. Cephalocaudal & proximal-distal
(perkembangan manusia itu mulai dari kepala ke kaki dan dari tengah (jantung,
paru dan sebagainya) ke samping (tangan).
2.
Struktur mendahului
fungsi.
3.
Diferensiasi ke integrasi.
4.
Dari konkret ke abstrak.
5.
Dari egosentris ke
perspektivisme.
6.
Dari outer control ke
inner control.
5. Tahapan-tahapan
perkembangan individu
Dalam berbagai literatur kita dapati berbagai
pendekatan dalam menentukan tahapan perkembangan individu, diantaranya adalah
pendekatan didaktis. Dalam hal ini, Syamsu Yusuf (2003) mengemukakan tahapan
perkembangan individu dengan menggunakan pendekatan didaktis, sebagai berikut :
a. Masa Usia
Pra Sekolah
Masa Usia Pra Sekolah terbagi dua yaitu
1. Masa Vital; pada masa ini
individu menggunakan fungsi-fungsi biologis untuk menemukan berbagai hal dalam
dunianya. Untuk masa belajar pada tahun pertama dalam kehidupan individu ,
Freud menyebutnya sebagai masa oral (mulut), karena mulut dipandang sebagai
sumber kenikmatan dan merupakan alat untuk melakukan eksplorasi dan
belajar.Pada tahun kedua anak belajar berjalan sehingga anak belajar menguasai
ruang, mulai dari yang paling dekat sampai dengan ruang yang jauh. Pada tahun
kedua umunya terjadi pembiasaan terhadap kebersihan. Melalui latihan
kebersihan, anak belajar mengendalikan impuls-impuls atau dorongan-dorongan
yang datang dari dalam dirinya.
2. Masa Estetik; dianggap sebagai
masa perkembangan rasa keindahan. Anak bereksplorasi dan belajar melalui panca
inderanya. Pada masa ini panca indera masih sangat peka.
b. Masa Usia
Sekolah Dasar
Masa Usia Sekolah Dasar disebut juga masa intelektual,
atau masa keserasian bersekolah pada umur 6-7 tahun anak dianggap sudah matang
untuk memasuki sekolah. Masa Usia Sekolah Dasar terbagi dua, yaitu : (a) masa
kelas-kelas rendah dan (b) masa kelas tinggi.
Ciri-ciri pada masa kelas-kelas rendah(6/7 – 9/10 tahun) :
1. Adanya
korelasi positif yang tinggi antara keadaan jasmani dengan prestasi.
2. Sikap
tunduk kepada peraturan-peraturan permainan tradisional.
3. Adanya
kecenderungan memuji diri sendiri.
4. Membandingkan
dirinya dengan anak yang lain.
5. Apabila
tidak dapat menyelesaikan suatu soal, maka soal itu dianggap tidak penting.
6. Pada masa
ini (terutama usia 6 – 8 tahun) anak menghendaki nilai angka rapor yang baik,
tanpa mengingat apakah prestasinya memang pantas diberi nilai baik atau tidak.
Ciri-ciri pada masa kelas-kelas tinggi (9/10-12/13 tahun) :
1. Minat
terhadap kehidupan praktis sehari-hari yang konkret.
2. Amat
realistik, rasa ingin tahu dan ingin belajar.
3. Menjelang
akhir masa ini telah ada minat kepada hal-hal atau mata pelajaran khusus
sebagai mulai menonjolnya bakat-bakat khusus.
4. Sampai
usia 11 tahun anak membutuhkan guru atau orang dewasa lainnya untuk
menyelesaikan tugas dan memenuhi keinginannya. Selepas usia ini pada umumnya
anak menghadapi tugas-tugasnya dengan bebas dan berusaha untuk
menyelesaikannya.
5. Pada masa
ini anak memandang nilai (angka rapor) sebagai ukuran tepat mengenai prestasi
sekolahnya.
6. Gemar
membentuk kelompok sebaya untuk bermain bersama. Dalam permainan itu mereka
tidak terikat lagi dengan aturan permainan tradisional (yang sudah ada), mereka
membuat peraturan sendiri.
c. Masa
Usia Sekolah Menengah
Masa usia sekolah menengah bertepatan dengan masa remaja, yang terbagai ke
dalam 3 bagian yaitu :
1. masa remaja awal; biasanya
ditandai dengan sifat-sifat negatif, dalam jasmani dan mental, prestasi, serta
sikap sosial,
2. masa remaja madya; pada masa
ini mulai tumbuh dorongan untuk hidup, kebutuhan akan adanya teman yang dapat
memahami dan menolongnya. Pada masa ini sebagai masa mencari sesuatu yang
dipandang bernilai, pantas dijunjung dan dipuja.
3. masa remaja akhir; setelah
remaja dapat menentukan pendirian hidupnya, pada dasarnya telah tercapai masa
remaja akhir dan telah terpenuhi tugas-tugas perkembangan pada masa remaja,
yang akan memberikan dasar bagi memasuki masa berikutnya yaitu masa dewasa.
d. Masa Usia
Kemahasiswaan (18-25 tahun)
Masa ini dapat digolongkan pada masa remaja akhir sampai masa dewasa awal
atau dewasa madya, yang intinya pada masa ini merupakan pemantapan pendirian
hidup.
C. Macam-macam perbedaan individu
1. Perbedaan Kognitif
Kemampuan kognitif merupakan kemampuan yang berkaitan dengan penguasaan
ilmu pengetahuan dan tehnologi. Setiap orang memiliki persepsi tentang hasil
pengamatan atau penyerapan atas suatu obyek. Berarti ia menguasai segala
sesuatu yang diketahui, dalam arti pada dirinya terbentuk suatu persepsi, dan
pengetahuan itu diorganisasikan secara sistematik untuk menjadi miliknya.
2. Perbedaan Kecakapan Bahasa
Bahasa merupakan salah satu kemampuan individu yang sangat penting dalam
kehidupan. Kemampuan tiap individu dalam berbahasa berbeda-beda. Kemampuan
berbahasa merupakan kemampuan seseorang untuk menyatakan buah pikirannya dalam
bentuk ungkapan kata dan kalimat yang penuh makna, logis dan sistematis.
Kemampuan berbaha sangat dipengaruhi oleh faktor kecerdasan dan faktor lingkungan
serta faktor fisik (organ bicara).
3. Perbedaan Kecakapan Motorik
Kecakapan motorik atau kemampuan psiko-motorik merupakan kemampuan untuk
melakukan koordinasi gerakan syarat motorik yang dilakukan oleh syaraf pusat
untuk melakukan kegiatan.
4. Perbedaan Latar Belakang
Perbedaaan latar belakang dan pengalaman mereka masing-masing dapat
memperlancar atau menghambat prestasinya, terlepas dari potensi individu untuk
menguasai bahan.
5. Perbedaan Bakat
Bakat merupakan kemampuan khusus yang dibawa sejak lahir. Kemampuan
tersebut akan berkembang dengan baik apabila mendapatkan rangsangan dan
pemupukan secara tepat sebaliknya bakat tidak berkembang sama, manakala
lingkungan tidak memberi kesempatan untuk berkembang, dalam arti tidak ada
rangsangan dan pemupukan yang menyentuhnya.
6. Perbedaan Kesiapan Belajar
Perbedaan latar belakang, yang mliputi perbedaan sisio-ekonomi sosio
cultural, amat penting artinya bagi perkembangan anak. Akibatnya anak-anak pada
umur yang sama tidak selalu berada pada tingkat kesiapan yang sama dalam
menerima pengaruh dari luar yang lebih luas.
7. Perbedaan Tingkat Pencapaian
Salah satu bentuk nyata untuk melihat perbedaan anak adalah dengan
memeriksa hasil pencapaian dalam tes matematika standar. Tingkat pencapaian
anak merupakan suatu fungsi yang menunjukkan nilai belajar anak. Murid dalam
posisi puncak di suatu kelompok biasanya mampu belajar matematika dengan cepat,
sementara murid dengan posisi terendah di dalam kelas biasanya merupakan
pebelajar yang lambat. Pada posisi tengah-tengah, sekitar 50 persen diantaranya
memiliki kemampuan yang merata dalam pencapaian matematika.
8. Perbedaaan Lingkungan Keluarga
Anak-anak berasal dari berbagai lingkungan keluarga. Anak dari keluarga
berada dengan pendidikan yang memadai biasanya datang ke sekolah dengan latar
belakang berbagai pengalaman lebih cenderung menjadi pebelajar yang cepat.
Sebaliknya, anak yang berasal dari keluarga kurang mampu dan dengan latar
belakang orang tua tanpa pendidikan cenderung menjadi pebelajar yang lambat.
Lingkungan keluarga selalu memberikan pengaruh terhadap sikap anak dalam
menghargai matematika. Penelitian menujukkan adanya korelasi positif antara
sikap anak terhadap matemtika dengan sikap orang tua terhadap mata pelajaran
ini.
9. Latar Belakang Budaya dan Etnis
Anak-anak juga berbeda diapandang dari segi latar belakang budaya dan
etnis. Motivasi untuk belajar berbeda antara budaya yang satu dengan budaya
yang lainnya, layaknya anak-anak tertarik dan menilai pencapaiannya dalam suatu
pendidikan.
10. Faktor Pendidikan
Faktor pendidikan mempengaruhi prestasi dalam bidang akademik. Anak-anak
yang memperoleh hasil yang selalu efektif, penuh arti, sebagai contoh program
matemtika yang dianjurkan, cenderung berada di atas rata-rata dan menjadi
pebelajar yang cepat. Murid yang memiliki sedikit pengalaman, seringnya
mengikuti metode drill tanpa akhir untuk belajar teknik menghitung dan
menghapalkan operasi dasar matematika biasanya mengalami kesulitan dalam
memahami matemtika dasar tahap lanjut.
D. Implikasi perbedaan individu dalam pendidikan
1. Menggunakan pendekatan pembelajaran fleksibel
disertai penggunaan multimedia dan multimetode
2. Memahami pilihan gaya belajar siswa kemudian
menyediakan lingkungan belajar yang mendukung gaya belajar mereka.
3. Memberikan pengalaman-pengalaman belajar yang
menggabungkan pilihan cara belajar siswa, menggunakan metode mangajar,
insentif, alat, dan situasi yang direncanakan sesuai dengan pilihan siswa
4. Gunakan kombinasi cooperative learning,
pembelajaran individual, dan pembelajaran kelompok, atau antara
aktifitas-aktifitas belajar yang berpusat pada guru dengan pembelajaran yang
berpusat pada siswa.
5. Berikan waktu yang cukup untuk memproses dan
memahami informasi.
6. Gunakan alat-alat multi sensory untuk memproses, mempraktekkan dan memperoleh informasi.
6. Gunakan alat-alat multi sensory untuk memproses, mempraktekkan dan memperoleh informasi.
E. Program Pembelajaran Individual
1. Pengertian program pembelajaran
individual
Program Pembelajaran Individual (PPI) adalah suatu program pendidikan dalam
bentuk pernyataan tertulis, untuk setiap siswa Anak Berkebutuhan Khusus yang
dikembangklan berdasarkan hasil pertemuan Tim Pengembang PPI.
2. Isi Program Pembelajaran Individual
a. Pernyataan
tentang taraf kinerja anak saat ini
b. Pernyataan
tentang tujuan umum dan tujuan khusus pembelajaran untuk jangka waktu tertentu
(1 Semerter / 2 Semester)
c. Pernyataan
tentang bentuk layanan khusus yang tersedia bagi setiap siswa dengan kebutuhan
khusus dan perluasan untuk mengikuti program regular
d. Proyeksi
waktu yang digunakan untuk memulai kegiatan dan antisipasi waktu pelayanan
e. Kriteria
pencapaian tujuan pembelajaran dan prosedur evaluasi
3. Kegunaan Program Pembelajaran
Individual
Program Pendidikan Individu untuk menjamin bahwa siswa dengan kebutuhan
khusus memiliki suatu program yang diindividualkan untuk mempertemukan
kebutuhan untuknya dan mengkomunikasikan secara tertulis kepada
individu-individu yang berkepentingan.
4. Langkah-langkah Pengembangan Program
Pembelajaran Individual
a. Membentuk
Tim
b. Membentuk
Asesmen kekuatan, kelemahan dan minat anak
c. Membentuk
tujuan umum (jangka panjang) dan tujuan khusus (jangka pendek) pembelajaran.
d. Membentuk
prosedur dan metode pembelajaran
e. Membentuk
metode evaluasi kemampuan anak
5. Tim Program Pembelajaran Individual
a. Guru
Pendidikan Khusus
b. Guru
regular/ guru kelas
c. Diagnostician
d. Kepala
sekolah
e. Orang
tua
f. Siswa yang
bersangkutan (apabila diperlukan)
g. Spesialis
lain (konselor, guru musik, guru seni, guru olahraga dan lain-lain.
3.2
Program Pembelajaran Individual
1. Pengertian Program
Pembelajaran Individual
Program Pembelajaran Individual (PPI) adalah suatu
program pendidikan dalam bentuk pernyataan tertulis, untuk setiap siswa Anak
Berkebutuhan Khusus yang dikembangklan berdasarkan hasil pertemuan Tim
Pengembang PPI.
2. Isi Program Pembelajaran Individual
a. Pernyataan tentang taraf kinerja
anak saat ini
b. Pernyataan tentang tujuan umum
dan tujuan khusus pembelajaran untuk jangka waktu tertentu (1 Semerter /
2 Semester)
c. Pernyataan tentang bentuk layanan
khusus yang tersedia bagi setiap siswa dengan kebutuhan khusus dan perluasan
untuk mengikuti program regular.
d. Proyeksi waktu yang digunakan
untuk memulai kegiatan dan antisipasi waktu pelayanan
e. Kriteria pencapaian tujuan
pembelajaran dan prosedur evaluasi
3. Kegunaan Program Pembelajaran
Individual
Program Pendidikan Individu untuk menjamin bahwa
siswa dengan kebutuhan khusus memiliki suatu program yang diindividualkan untuk
mempertemukan kebutuhan untuknya dan mengkomunikasikan secara tertulis kepada
individu-individu yang berkepentingan.
4. Langkah-langkah Pengembangan Program
Pembelajaran Individual
a. Membentuk
Tim
b. Membentuk Asesmen
kekuatan, kelemahan dan minat anak
c. Membentuk
tujuan umum (jangka panjang) dan tujuan khusus (jangka pendek) pembelajaran.
d. Membentuk prosedur
dan metode pembelajaran
e. Membentuk
metode evaluasi kemampuan anak
5. Tim Program Pembelajaran Individual
a. Guru
Pendidikan Khusus
b. Guru regular/ guru
kelas
c. Diagnostician
d. Kepala sekolah
e. Orang tua
f. Siswa
yang bersangkutan (apabila diperlukan)
g. Spesialis lain
(konselor, guru musik, guru seni, guru olahraga dan lain-lain
KESIMPULAN
Manusia atau individu
adalah makhluk yang dapat dipandang dari berbagai sudut pandang. Individu
adalah kata benda dari individual yang berarti orang, perseorangan, dan oknum.
Perbedaan individual secara umum adalah hal-hal yang berkaitan dengan
“psikologi pribadi” yang menjelaskan perbedaan psikologis antara orang-orang
serta berbagai persamaannya. Sumber perbedaan individu disebabkan faktor bawaan
dan faktor lingkungan. Terdapat beberapa macam bidang perbedaan individu yaitu
perbedaan kognitif, perbedaan kecakapan berbahasa, perbedaan kecakapan motorik,
perbedaan latar belakang, perbedaan bakat, perbedaan kesiapan belajar,
perbedaan jenis kelamin dan gender, perbedaan kepribadian, dan perbedaan gaya
belajar. Perbedaan individu dapat diaplikasikan dalam beberapa cara yaitu
menggunakan pendekatan pembelajaran fleksibel, memahami pilihan gaya belajar
siswa, memberikan pengalaman-pengalaman belajar yang menggabungkan pilihan cara
belajar siswa, gunakan kombinasi cooperative learning, berikan waktu yang cukup
untuk memproses dan memahami informasi, dan gunakan alat-alat multi sensory
untuk memproses, mempraktekkan dan memperoleh informasi.
5.
TEORI-TEORI BELAJAR DAN IMPLIKASINYA
5.1 Teori Belajar
Belajar
merupakan ciri khas manusia yang membedakannya dengan binatang. Belajar yang
dilakukan manusia merupakan bagian hidupnya dan berlangsung seumur hidup. Dalam
belajar, pebelajar yang lebih penting sebab tanpa pebelajar tidak ada proses
belajar. Oleh karena itu tenaga pengajar perlu memahami terlebih dahulu teori
belajar, karena membantu pengajar untuk memahami proses belajar yang terjadi
didalam diri pebelajar, dengan kondisi ini pengajar dapat mengerti
kondisi-kondisi dan faktor-faktor yang mempengaruhi, memperlancar atau
menghambat proses belajar. Teori ini merupakan sumber hipotesis atau
dugaan-dugaan tentang proses belajar yang dapat diuji kebenarannya melalui
eksperimen atau penelitian, dengan demikian dapat meningkatkan pengertian
seseorang tentang proses belajar mengajar.
Secara umum semua teori belajar dapat kita kelompokkan menjadi empat golongan atau aliran yaitu:
Secara umum semua teori belajar dapat kita kelompokkan menjadi empat golongan atau aliran yaitu:
a. Teori Belajar Behavioristik
b. Teori Belajar Kognitif
c. Teori Belajar Humanistik
d. Teori Belajar Sibernetik
A. Aliran Behaviouristik
Pandangan
tentang belajar menurut aliran tingkah laku, tidak lain adalah perubahan dalam
tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respons. Atau
dengan kata lain,belajar adalah perubahan yang dialami siswa dalam hal
kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil
interaksi antara stimulus dan respons. Para ahli yang banyak berkarya dalam
aliran ini antara lain: Thorndike, (1911); Watson, (1963); Hull, (1943); dan
Skinner, (1968).
a. Thorndike
Menurut Thorndike (1911), salah
seorang pendiri aliran tingkah laku, belajar adalah proses interaksi antara
stimulus (yang mungkin berupa pikiran, perasaan, atau gerakan) dan respons
(yang juga bisa berupa pikiran, perasaan, atau gerakan).
b. Watson
Berbeda
dengan Thorndike, menurut Watson pelopor yang datang sesudah Thorndike,
stimulus dan respons tersebut harus berbentuk tingkah laku yang “bisa diamati”
(Observable) . Dengan kata lain, Watson mengabaikan berbagai perubahan mental
yang mungkin terjadi dalam belajar dan menganggapnya sebagai faktor yang tidak
perlu diketahui.
c. Clark Hull
Menurut
Hull, tingkah laku seseorang berfungsi untuk menjaga kelangsungan hidup. Oleh
karena itu, dalam teori Hull, kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan
biologis menempati posisi sentral. Kebutuhan dikonsepkan sebagai dorongan,
seperti lapar, haus, tidur, hilangnya rasa nyeri, dan sebagainya. Stimulus
hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis ini, meskipun respons mungkin
bermacam-macam bentuknya.
d. Skinner
Menurut
Skinner, deskripsi hubungan antara stimulus dan repons untuk menjelaskan
perubahan tingkah laku (dalam hubungannya dengan lingkungan) menurut versi
Watson adalah deskripsi yang tidak lengkap. Respons yang diberikan oleh siswa
tidaklah sesederhana itu, sebab pada dasarnya setiap stimulus yang diberikan
juga menghasilkan berbagai konsekuensi, yang pada gilirannya akan mempengaruhi
tingkah laku siswa.
B. Aliran Kognitif
Teori
belajar kognitif merupakan suatu teori belajar yang lebih mementingkan proses
belajar daripada hasil belajar itu sendiri. Bagi penganut aliran ini, belajar
tidak sekadar melibatkan hubungan antara stimulus dan respons. Namun lebih dari
itu, belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks.
Menurut teori ini, ilmu pengetahuan
dibangun dalam diri seorang individu melalui proses interaksi yang
berkesinambungan dengan lingkungan. Proses ini tidak berjalan terpatah-patah,
terpisah-pisah, tetapi melalui proses yang mengalir, bersambung-sambung,
menyeluruh.
Dalam praktik, teori ini antara lain terwujud dalam “tahap-tahap perkembangan” yang diusulkan oleh Jean Piaget, “belajar bermakna”nya Ausubel, dan “belajar penemuan secara bebas” (free discovery learning) oleh Jerome Bruner.
Dalam praktik, teori ini antara lain terwujud dalam “tahap-tahap perkembangan” yang diusulkan oleh Jean Piaget, “belajar bermakna”nya Ausubel, dan “belajar penemuan secara bebas” (free discovery learning) oleh Jerome Bruner.
a. Piaget
Menurut Jean Piaget (1975), bahwa
proses belajar sebenarnya terdiri dari tiga tahapan, yakni (1) asimilasi, (2)
akomodasi, (3) equilibrasi (penyimpangan) . Proses asimilasi adalah proses
penyatuan informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada dalam benak siswa.
Akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru.
Equilibrasi adalah penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi.
b. Ausubel
Menurut Ausubel (1968), siswa akan
belajar dengan baik jika apa yang disebut “pengatur kemajuan (belajar)”
(Advance Organizers) didefinisikan dan dipresentasikan dengan baik dan tepat
kepada siswa.
Ausubel percaya bahwa “advance
organizers” dapat memberikan tiga macam manfaat, yakni:
1. dapat menyediakan suatu kerangka
konseptual untuk materi belajar yang akan dipelajari oleh siswa;
2. dapat berfungsi sebagai jembatan
yang menghubungkan antara apa yang sedang dipelajari siswa “saat ini” dengan apa
yang “akan” dipelajari siswa;
3. mampu membantu siswa untuk
memahami bahan belajar secara lebih mudah.
c. Bruner
Menurut
Bruner, proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberi
kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu aturan (termasuk konsep, teori,
definisi, dan sebagainya) melalui contoh-contoh yang menggambarkan (mewakili)
aturan yang menjadi sumbernya. Dengan kata lain, siswa dibimbing secara secara
induktif untuk memahami suatu kebenaran umum.
C. Aliran Teori Humanistik
Bagi
penganut teori ini, proses belajar harus berhulu dan bermuara pada manusia itu
sendiri. Meskipun teori ini sangat menekankan pentingnya “isi” dari proses
belajar, dalam kenyataan teori ini lebih banyak berbicara tentang pendidikan
dan proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain, teori
ini lebih tertarik pada ide belajar dalam bentuknya yang paling ideal daripada
belajar seperti apa adanya, seperti apa yang biasa kita amati dalam dunia
keseharian.
Teori ini terwujud dalam teori Bloom
dan Krathwohl dalam bentuk Taksonomi Bloom. Selain itu, empat pakar lain yang
juga termasuk ke dalam kubu teori ini adalah Kolb, Honey, dan Mumford, serta
Hibermas, yang masing-masing pendapatnya akan dibahas berikut ini.
a. Bloom dan Krathwohl
Dalam hal ini, bloom dan Krathwohl
menunjukkan apa yang mungkin dikuasasi oleh siswa, yang tercakup dalam tiga
kawasan berikut.
1. Kognitif
Kognitif terdiri dari enam tingkatan,
yaitu
1) pengetahuan (mengingat,
menghafal);
2) pemahaman (menginterpretasikan);
3) aplikasi (menggunakan konsep untuk
memecahkan suatu masalah);
4) analisis (menjabarkan suatu
konsep);
5) sintesis (menggabungkan
bagian-bagian konsep menjadi suatu konsep utuh);
6) evaluasi (membandingkan nilai,
ide, metode, dan sebagainya).
2. Psikomotor
Psikomotor terdiri dari lima
tingkatan, yaitu
1) peniruan;
2) penggunaan;
3) ketepatan;
4) perangkaian;
5) naturalisasi.
3. Afektif
Afektif terdiri dari lima tingkatan,
yaitu
1) pengenalan;
2) merespons;
3) penghargaan;
4) pengorganisasian;
5) pengamalan.
Pada tingkatan yang lebih praktis,
taksonomi ini telah banyak membantu praktisi pendidikan untuk memformulasikan
tujuan-tujuan belajar dalam bahasa yang mudah dipahami, operasional, serta
dapat diukur.
b. Kolb
Sementara itu, seorang ahli lain yang
bernama Kolb membagi tahapan belajar menjadi empat tahap, yaitu;
1) pengalaman konkret;
2) pengamatan aktif dan reflektif;
3) konseptualisasi;
4) eksperimentasi aktif.
Pada tahap pertama dalam proses
belajar, seorang siswa hanya mampu sekadar ikut mengalami suatu kejadian.
Pada tahap kedua, siswa tersebut
lambat laun mampu mengadakan observasi aktif terhadap kejadian itu, serta mulai
berusaha memikirkan dan memahaminya.
Pada tahap ketiga, siswa mulai
belajar untuk membuat abstraksi atau “teori” tentang sesuatu hal yang pernah
diamatinya.
Pada tahap akhir, siswa sudah mampu
mengaplikasikan suatu aturan umum ke situasi yang baru.
c. Honey dan Mumford
c. Honey dan Mumford
Berdasarkan teori ini,mereka
menggolongkan empat macam tipe siswa, yakni (1) aktivis, (2) reflektor, (3)
teoris, dan (4) pragmatis.
Ciri
siswa yang bertipe aktivis adalah mereka yang suka melibatkan diri pada
pengalaman-pengalaman baru. Mereka cenderung berpikiran terbuka dan mudah
diajak berdialog.
Untuk siswa yang bertipe reflektor, sebaliknya , cenderung sangat berhati-hati mengambil langkah. Dalam proses pengambilan keputusan, siswa tipe ini cenderung “konservatif” dalam arti mereka lebih suka menimbang-nimbang secara cermat, baik buruk suatu keputusan.
Sedangkan siswa yang bertipe teoris biasanya sangat kritis, senang menganalisis, dan tidak menyukai pendapat, atau penilaian yang sifatnya subjektif. Bagi mereka, berpikir secara rasional adalah sesuatu yang sangat penting.
Untuk siswa yang bertipe reflektor, sebaliknya , cenderung sangat berhati-hati mengambil langkah. Dalam proses pengambilan keputusan, siswa tipe ini cenderung “konservatif” dalam arti mereka lebih suka menimbang-nimbang secara cermat, baik buruk suatu keputusan.
Sedangkan siswa yang bertipe teoris biasanya sangat kritis, senang menganalisis, dan tidak menyukai pendapat, atau penilaian yang sifatnya subjektif. Bagi mereka, berpikir secara rasional adalah sesuatu yang sangat penting.
Untuk siswa yang bertipe pragmatis
biasanya menaruh perhatian besar pada aspek-aspek praktis dari segala hal.
Teori memang penting kata mereka. Kebanyakan siswa dengan tipe ini tidak suka
berlarut-larut dalam membahas aspek teoritis filosofis dari sesuatu. Bagi
mereka, sesuatu dikatakan ada gunanya dan baik jika hanya bisa dipraktikkan.
d. Habermas
d. Habermas
Menurutnya belajar sangat dipengaruhi
oleh interaksi, baik dengan lingkungan maupun dengan sesama manusia. Dengan
asumsi ini, Habermas mengelompokkan tipe belajar menjadi tiga bagian yaitu;
1. belajar teknis (technical
learning);
2. belajar praktis (practical
learning);
3. belajar emansipatoris
(emancipatory learning).
Dalam belajar teknis, siswa belajar
bagaimana berinteraksi dengan alam sekelilingnya. Mereka berusaha menguasai dan
mengelola alam dengan cara mempelajari keterampilan dan pengetahuan yang
dibutuhkan untuk itu.
Dalam
belajar praktis,siswa juga belajar berinteraksi, tetapi pada tahap ini yang
lebih dipentingkan adalah interaksi antara dia dengan orang-orang
sekelilingnya. Pada tahap ini, pemahaman siswa terhadap alam tidak berhenti,
sebagai suatu pemahaman yang kering dan terlepas kaitannya dengan manusia.
Sedangkan
dalam belajar emansipatoris, siswa berusaha mencapai pemahaman dan kesadaran
yang sebaik mungkin tentang perubahan kulturasi dari suatu lingkungan. Bagi
Habermas, pemahaman dan kesadaran terhadap transformasi kultural ini dianggap
tahap belajar yang paling tinggi, sebab transformasi kultural inilah yang
dianggap sebagai tujuan pendidikan yang paling tinggi.
D. Teori belajar Sibernetik
Teori ini masih baru jika
dibandingkan dengan ketiga teori yang telah dijelaskan sebelumnya . Teori ini berkembang sejalan dengan perkembangan
ilmu informasi. Menurut teori ini belajar adalah pengolahan informasi . Teori
ini berasumsi bahwa tidak ada satupun jenis cara belajar yang ideal untuk
segala situasi, sebab cara belajar sangat ditentukan oleh sistem informasi.
Teori ini dikembangkan oleh Landa (dalam bentuk pendekatan algoritmik dan Neuristik) serta Pask and Scott dengan pembagian tipe siswa yaitu tipe Wholist dan tipe Ferialist.
Teori sibernetik ini dikritik karena lebih menekankan pada sistem informasi yang akan dipelajari, tetapi kurang memperhatikan bagaimana proses belajar berlangsung sehingga untuk selanjutnya banyak yang berasumsi bahwa teori ini sulit untuk dipraktikkan.
Teori ini dikembangkan oleh Landa (dalam bentuk pendekatan algoritmik dan Neuristik) serta Pask and Scott dengan pembagian tipe siswa yaitu tipe Wholist dan tipe Ferialist.
Teori sibernetik ini dikritik karena lebih menekankan pada sistem informasi yang akan dipelajari, tetapi kurang memperhatikan bagaimana proses belajar berlangsung sehingga untuk selanjutnya banyak yang berasumsi bahwa teori ini sulit untuk dipraktikkan.
2.2 Implikasi Teori Belajar dalam
Pembelajaran
Implikasi
teori belajar merupakan suatu bagian terpenting dari teknologi pendidikan yang
memiliki potensi cukup besar dalam mengoptimalisasikan peningkatan pendidikan
dengan memanfaatkan faktor-faktor yang tersedia yaitu sarana dan prasarana.
Dengan memfungsikan hubungan antara keterkaitan antar sistem berbagai sarana
maupun prasarana yang tersedia menjadi suatu kesatuan dalam sisitem pendidikan
akan menghasilkan suatu sistem pendidikan yang dapat mengefisiensikan
pengembangan pendidikan. Adapun implikasi teori-teori belajar dalam
pembelajaran di kelas atau dalam dunia pendidikan adalah:
A. Implikasi Teori Behaviouristik
Implikasi
teori belajar behavioristik dalam pembelajaran tergantung dari beberapa hal
seperti tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik siswa, media
dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pelopor terpenting teori ini antara
lain adalah : Pavlov, Watson, Skinner, Thorndike, Hull, dan Guthrie . Pembelajaran
yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa
pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah
terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan,
sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke
orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk
menjiplak struktur pengetahuan yang sudah ada melalui proses berpikir yang
dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses
berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan
tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap
pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru
itulah yang harus dipahami oleh murid.
Demikian
halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu
membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para
pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan
standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para
pebelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar, pebelajar diukur hanya
pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak
teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang
bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang
yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan
terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial
dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan
disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan
dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar
atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah.
Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan
belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai
dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada
di luar diri pebelajar.
B. ImplikasiTeori Kognitif
Implikasi teori belajar kognitif
dalam pembelajaran, guru harus memahami bahwa siswa bukan sebagai orang dewasa
yang mudah dalam proses berpikirnya, anak usia pra sekolah dan awal sekolah
dasar belajar menggunakan benda-benda konkret, keaktifan siswa sangat
dipentingkan, guru menyusun materi dengan menggunakan pola atau logika tertentu
dari sederhana ke kompleks, guru menciptakan pembelajaran yang bermakna,
memperhatian perbedaan individual siswa untuk mencapai keberhasilan siswa.
C. Implikasi Teori Humanistik
Implikasi teori humanistik dalam
pembelajaran, guru lebih mengarahkan siswa untuk berpikir induktif,
mementingkan pengalaman serta membutuhkan keterlibatan siswa secara aktif dalam
proses belajar.
D. Implikasi Teori Sibernetik
Implikasi teori sibernetik terhadap
proses pembelajaran hendaknya menarik perhatian, memberitahukan tujuan
pembelajaran kepada siswa, merangsang kegiatan pada prasyarat belajar,
menyajikan bahan perangsang, memberikan bimbingan belajar, mendorong untuk kerja,
dan menilai unjuk kerja.
2.3 Implementasi Teori-Teori Belajar
dalam Perspektif Islam
Berkenaan
dengan teori belajar pendidikan agama Islam, dalam membahas tentang teori
pendidikan dalam Alquran, Abdurrahman Saleh Abdullah (1994:23) menyatakan bahwa
secara nyata, Alquran merupakan sebuah kitab yang banyak menunjukkan
verifikasi-verifikasi ilmiah. Alquran surat Al-Baqarah [2]:3 menyatakan bahwa
beriman kepada yang gaib merupakan bagian dari iman yang mendahului petunjuk
tingkah laku yang dapat diamati secara nyata. Selanjutnya Abdurrahman (1994:24)
menyatakan bahwa karena asas-asas dasarnya dipadukan antara satu dengan yang
lain, maka teori pendidikan Islam (termasuk teori belajar pendidikan agama
Islam) dapat dinyatakan sebagai teori terpadu dan menyeluruh dimana asas-asas
dasar Alquran membentuk inti prima. Sejauh Alquran mengandung satu kesatuan
pandangan terhadap manusia dan alam semesta, maka teori pendidikan Islam harus
terletak pada dasar satu kesatuan tersebut.
Kesimpulan
Teori behaviouristik menekankan pada “hasil” daripada proses belajar. Teori kognitif menekankan pada “proses” belajar. Teori humanistik menekankan pada “isi” atau apa yang dipelajari. Teori sibernetik menekankan pada “sistem informasi” yang dipelajari.
Teori behaviouristik menekankan pada “hasil” daripada proses belajar. Teori kognitif menekankan pada “proses” belajar. Teori humanistik menekankan pada “isi” atau apa yang dipelajari. Teori sibernetik menekankan pada “sistem informasi” yang dipelajari.
Saran
Sebagai
seorang pengajar perlu sekali mengetahui teori-teori belajar agar pendidikan di
Indonesia menjadi semakin lebih baik di masa sekarang dan yang akan datang.
6.1 Pengukuran, Penilaian dan Evaluasi
Pengukuran
Sebelum seorang evaluator menilai
tentang proses sebuah pendidikan, maka langkah awal yang dilakukan adalah melakukan
sebuah pengukuran. Dalam penilaian pendidikan, evaluator harus mengatahui
standar penilain yang telah telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai acuan
dasar, sehingga dari situ evaluator mampu melakukan pengukuran sesuai dengan
apa yang seharusnya diakur dalam bidang pendidikan. Umumnya sebuah pengukuran,
akan dapat dilakukan dengan baik apabila evaluator mengetahui dengan pasti
objek apa yang akan diukur, dengan begitu evaluator dapat menentukan instrument
yang digunakan dalam pengukuran.
Pengukuran merupakan proses yang
mendeskripsikan performance siswa dengan menggunakan suatu skala kuantitatif
(system angka) sedemikian rupa sehingga sifat kualitatif dari performance siswa
tersebut dinyatakan dengan angka-angka (Alwasilah et al.1996).
Menurt
Ign. Masidjo (1995: 14) pengukuran sifat suatu objek adalah suatu kegiatan
menentukan kuantitas suatu objek melalui aturan-aturan tertentu sehingga
kuantitas yang diperoleh benar-benar mewakili sifat dari suatu objek yang
dimaksud.
Menurut
Cangelosi (1991) pengukuran adalah proses pengumpulan data melalui pengamatan
empiris. Pengertian yang lebih luas mengenai pengukuran dikemukakan oleh
Wiersma & Jurs (1990) bahwa pengukuran adalah penilaian numeric pada
fakta-fakta dari objek yang hendak diukur menurut criteria atau satuan-satuan
tertentu. Jadi pengukuran bisa diartikan sebagai proses memasangkan fakta-fakta
suatu objek dengan fakta-fakta satuan tertentu (Djaali & Pudji Muljono,
2007).
Sedangkan menurut Endang Purwanti
(2008: 4) pengukuran dapat diartikan sebagai kegiatan atau upaya yang dilakukan
untuk memberikan angka-angka pada suatu gejala atau peristiwa, atau benda,
sehingga hasil pengukuran akan selalu berupa angka.
Dari
pendapat ahli beberapa ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa pengukuran adalah
suatu kegiatan yang dilakukan untuk menentukan fakta kuantitatif yang
disesuaikan dengan kriteria-kriteria tertentu sesuai dengan objek yang akan
diukur.
Penilaian
Penilaian dalam Bahasa Inggris
dikenal dengan istilah Assessment yang berarti menilai sesuatu. Menilai
itu sendiri bararti mengambil keputusan terhadap sesuatu dengan mengacu pada
ukuran tertentu seperti menilai baik atau buruk, sehat atau sakit, pandai atau
bodoh, tinggi atau rendah, dan sebagainya (Djaali & Pudji Muljono, 2007).
Istilah
asesmen (assessment) diartikan oleh Stiggins (1994) sebagai penilaian proses,
kemajuan, dan hasil belajar siswa (outcomes). Sementara itu asesmen diartikan
oleh Kumano (2001) sebagai “ The
process of Collecting data which shows the development of learning”.
Menurut
Endang Purwanti (2008: 3) Secara umum, asesment dapat
diartikan sebagai proses untuk mendapatkan informasi dalam bentuk apapun yang
dapat digunakan untuk dasar pengambilan keputusan tentang siswa baik yang
menyangkut kurikulumnya, program pembelajarannya, iklim sekolah maupun
kebijakan-kebijakan sekolah.
Pendapat
yang serupa juga disampaikan oleh Akhmad sudrajat (2008) Penilaian atau asesmentadalah
penerapan berbagai cara dan penggunaan beragam alat penilaian untuk memperoleh
informasi tentang sejauh mana hasil belajar peserta didik atau ketercapaian
kompetensi (rangkaian kemampuan) peserta didik. Penilaian menjawab pertanyaan
tentang sebaik apa hasil atau prestasi belajar seorang peserta didik. Hasil
penilaian dapat berupa nilai kualitatif (pernyataan naratif dalam kata-kata)
dan nilai kuantitatif (http://akhmadsudrajat. wordpress.com.2008).
Sedangkan
Menurut Ign. Masidjo (1995: 18) penilaian sifat suatu objek adalah suatu
kegiatan membandingkan hasil pengukuran sifat suatu objek dengan suatu acuan
yang relevan sedemikian rupa sehingga diperoleh kuantitas suatu objek yang
bersifat kualitatif.
Dari
beberapa pengertian menurut para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa penilaian
adalah suatu kegiatan membandingkan atau menerapkan hasil pengukuran untuk
memberikan nilai terhadap objek penilaian.
Evaluasi
Evaluasi dalam bahasa Inggris
dikenal dengan istila Evaluation. Gronlund (1985) berpendapat
evaluaasi adalah suatu proses yang sistematis untuk menentukan atau membuat keputusan,
sampai sejauh mana tujuan proram telah tercapai. Pendapat yang sama juga
dikemukakan oleh Wrightstone, dkk (1956) yang mengemukakan bahwa evaluasi
pendidikan adalah penaksiran terhadap pertumbuhan dan kemajuan siswa kearah
tujuan atau nilai-nilai yang telah ditetapkan dalam kurikulum (Djaali &
Pudji Muljono, 2007).
Sedangkan
Endang Purwanti (2008: 6) Berpendapat bahwa evaluasi adalah proses pemberian
makna atau penetapan kualitas hasil pengukuran dengan cara membandingkan angka
hasil pengukuran tersebut dengan kriteria tertentu.
Dari
pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa evaluasi adalah proses menilai
sesuat berdasarkan criteria tertentu, yang selanjunya diikuti dengan
pengambilan sebuah keputusan atas objek yang dievaluasi.
Dari
pengertian diatas istilah evaluasi dan penilaian hampir sama, bedanya dalam
evaluasi berakhir dengan pengambilan keputusan sedangkan penilaian hanya
sebatas memberikan nilai saja. Berdasarkan pengertian antara istilah
pengukuran, penilaian dan evaluasi yang dikemukakan diatas, maka jelaslah sudah
bahwa pengukuran, penilaian dan evaluasi merupakan tiga konsep yang berbeda.
Namun demikian, dalam prakteknya dalam dunia pendidikan, ketiga konsep tersebut
sering dipraktikkan dalam satu rangkaian kegiatan.
Fungsi Evaluasi Pendidikan.
Fungsi evaluasi ada beberapa hal :
a. Evaluasi berfungsi selektif.
Guru mempunyai cara untuk megadakan seleksi bagi calon siswa, untu
memilih siswa naik tidaknya ke tingkat lanjut, untuk memilih siwa yang
seharusnya dapat biasiswa, untuk memilih siswa yang berhak meninggalkan
sekolah.
b. Evaluasi berfungsi diagnostik.
Guru akan mengetahui kelemaha-kelemahan pada siswa dan tahu penyebabanya
serta mengetahui bagaiman cara mengatasinya.
c. Evaluasi berfungsi sebagai
penempatan.
Guru dapat menmpatkan siswanya yang mempunyai kemempuan yang sama dan
kelompok yang sama.
d. Evaluasi berfungsi sebagai pengukuran
keberhasilan.
Hal ini bermaksud utuk mengetahui sejauh mana keberhasilan suatu
program.
Fungsi evaluasi dalam proses pengembangan sistem pendidikan dimaksud
untuk:perbaikan sistem, pertanggung jawaban terhadap pemerintah dan masyarakat,
penentuan tindak lanjut hasil pengembangan.
D. Sifat Evaluasi Pendidikan
Sifat evaluasi antara lain sebagai berikut :
Kuantitatif
Banyak gejala-gejala dalam pendidikan yang sifatnya
abstrak dan kualitatif tetapi dalam evaluasi selalu diangkakan.
Tidak Langsung
Dalam mengevaluasikan harus menggunakan alat dan melalui
prosedur yang sistematis tidak secara langsung dan melihat gejala atau
cirri-ciri yang nampak.
Relatif atau Tidak Mutlak
Hasil penilaian setiap individu akan selalu berubah
sesuai dengan dinamikanya.
Setiap Penilaian Pasti Terjadi
Kesalahan
E. Prinsip Evaluasi Pendidikan
Continue
Obyektif
Komperehensif
Untuk mengevaluasi harus menggunakan alat yang baik, yaitu
: Valid, Reliabel, Daya pembeda, Obyektif, Komprehensif, Terstandar,
Praktis.
F. Macam Teknik Evaluasi Pendidikan
Teknik evaluasi ada 2 macam meliputi
Teknik Tes dan Teknik Non Tes.
1. Teknik
Tes, Teknik tes dibedakan menjadi 3 yaitu :
Tes Diagnostik
Tes Formatif
Tes Sumatif
2. Teknik Non Tes
Skala bertingkat
Skala ini menggambarkan suatu nilai yag berbentuk angka terhadap suatu
hasil pertimbangan.
Kuesioner
Kuesioner juga sering dikenal sebagai angket. Kuesioner adalah sebuah
daftar pertanyaan yang harus diisi oleh orang yang akan diukur (responden).
Daftar Cocok
(Check List)
Yang dimaksud daftar cocok adalah deretan pernyataan (yang biasanya
singkat), dimana responden yang dievaluasikan tinggal mmbubuhkan tanda cocok
(√) di tempat yang sudah disediakan.
Wawancara
(Interview)
Wawancara (interview) adalah suatu metode/cara yang digunakan untuk
mendapatkan jawaban dari responden dengan jalan tanya jawab.
Pengamatan
(Observation)
Pengamatan/observasi (observation) adalah suatu teknikyang dilakukan
dengan cara mengadakan pengamatan secara teliti serta pencatatan secara
sistematik.
Riwayat Hidup
Riwayat hidup adalah gambaran tentang keadaan seseorang selama dalam
masa kehidupannya.
PRINSIP-PRINSIP EVALUASI DALAM PEMBELAJARAN
Evaluasi adalah suatu proses, yakni proses menentukan sampai berapa jauh
kemampuan yang dapat dicapai oleh siswa dalam proses belajar mengajar.
Kemampuan yang diharapkan tersebut sebelumnya sudah ditetapkan secara
operational. Selanjutnya juga ditetapkan patokan pengukuran hingga dapat
diperoleh penilaian (value judgement), Kare¬na itu dalam evaluasi diperlukan
prinsip-prinsip sebagai petunjuk agar dalam pelaksanaan evaluasi dapat lebih
efektif. Prinsip-prinsip itu antara lain:
a. Kepastian dan kejelasan.
Dalam proses evaluasi maka kepastian dan kejelasan yang akan dievaluasi menduduki urutan pertama. Evaluasi akan dapat dilaksanakan apabila tujuan evaluasi tidak dirumuskan dulu secara jelas da¬lam. definisi yang operational. Bila kita ingin mengevaaluasi kemajuan belajar siswa maka pertama-tama kita identifikasi dan kita definisikan tujuan-tujuan instruksional pengajaran dan barulah kita kembangkan alat evaluasinya. Dengan demikian efektifitas alat evaluasi tergantung pada deskripsi yang jelas apa yang akan kita evaluasi. Pada umumnya alat evaluasi dalam pendidikan terutama pengajaran berupa test. Test ini mencerminkan karakteristik aspek yang akan di¬ukur. Kalau kita akan mengevaluasi tingkat intelegensi siswa, maka komponen-komponen intelegensi itu harus dirumuskan dengan jelas dan kemampuan belajar yang dicapai dirumuskan dengan tepat selanjutnya dikembangkan test sebagai alat evaluasi. Dengan demikian keberhasilan evaluasi lebih banyak ditentukan kepada kemampuan guru (evaluator) dalam merumuskan/mendefinisikan dengan jelas aspek-aspek individual ke dalam proses pendidikan.
Dalam proses evaluasi maka kepastian dan kejelasan yang akan dievaluasi menduduki urutan pertama. Evaluasi akan dapat dilaksanakan apabila tujuan evaluasi tidak dirumuskan dulu secara jelas da¬lam. definisi yang operational. Bila kita ingin mengevaaluasi kemajuan belajar siswa maka pertama-tama kita identifikasi dan kita definisikan tujuan-tujuan instruksional pengajaran dan barulah kita kembangkan alat evaluasinya. Dengan demikian efektifitas alat evaluasi tergantung pada deskripsi yang jelas apa yang akan kita evaluasi. Pada umumnya alat evaluasi dalam pendidikan terutama pengajaran berupa test. Test ini mencerminkan karakteristik aspek yang akan di¬ukur. Kalau kita akan mengevaluasi tingkat intelegensi siswa, maka komponen-komponen intelegensi itu harus dirumuskan dengan jelas dan kemampuan belajar yang dicapai dirumuskan dengan tepat selanjutnya dikembangkan test sebagai alat evaluasi. Dengan demikian keberhasilan evaluasi lebih banyak ditentukan kepada kemampuan guru (evaluator) dalam merumuskan/mendefinisikan dengan jelas aspek-aspek individual ke dalam proses pendidikan.
b. Teknik evaluasi
teknik evaluasi yang
dipilih sesuai dengan tujuan evaluasi. Hendaklah diingat bahwa tidak ada teknik
evaluasi yang cocok untuk semua ke¬perluan dalam pendidikanl Tiap-tiap tujuan
(pendidikan) yang ingin di¬capai dikembangkan tekmk evaluasi tersendiri yang
cocok dengan tuju¬an tersebut. Kecocokan antara tujuan evaluasi dan teknik yang
diguna¬kan perlu dijadikan pertimbangan utama.
c. Komprehensif.
Evaluasi yang
komprehensif memerlukan tehnik bervariasi. Tidak adalah teknik evaluasi tunggal
yang mampu mengukur tingkat kemampuan siswa dalam belajar, meskipun hanya dalam
satu pertemuan jam pelajar¬an. Sebab dalam kenyataannya tiap-tiap teknik
evaluasi mempunyai ke¬terbatasan-keterbatasan tersendiri. Test obyektif
misalnya akan mem¬berikan bukti obyektif tentang tingkat kemampuan siswa.
Tetapi hanya memberikan informasi sedikit dari siswa tentang apakah ia
benar-benar mengerti tentang materi tersee. but, apakah sudah dapat
mengembangkan ketrampilan berfikirnya, apakah akan dapat mengubah /
mengembang¬kan sikapnya apabila menghadapi situasi yang nyata dan sebagainya.
Lebih-lebih pada test subyektif yang penilaiannya lebih banyak tergan¬tung pada
subyektivitas evaluatornya.
Atas dasar prinsip inilah maka seyogyanya dalam proses belajar-me¬ngajar, untuk mengukur kemampuan belajar siswa digunakan teknik evaluasi yang bervariasi. Bob Houston seorang ahli evaluasi di Amerika Serikat (Texas) menyarankan untuk mendapatkan hasil yang lebih I obyektif dalam evaluasi, maka variasi teknik tidak hanya dikembangkan dalam bentuk pengukuran kuantitas saja. Evaluasi harus didasarkan pula data kualitatif siswa yang diperoleh dari observasi guru, Kepala Sekolah, catatan catatan harian dan sebagainya.
Atas dasar prinsip inilah maka seyogyanya dalam proses belajar-me¬ngajar, untuk mengukur kemampuan belajar siswa digunakan teknik evaluasi yang bervariasi. Bob Houston seorang ahli evaluasi di Amerika Serikat (Texas) menyarankan untuk mendapatkan hasil yang lebih I obyektif dalam evaluasi, maka variasi teknik tidak hanya dikembangkan dalam bentuk pengukuran kuantitas saja. Evaluasi harus didasarkan pula data kualitatif siswa yang diperoleh dari observasi guru, Kepala Sekolah, catatan catatan harian dan sebagainya.
d. Kesadaran adanya kesalahan pengukuran.
Evaluator harus
menyadari keterbatasan dan kelemahan dalam tek¬nik evaluasi yang digunakan.
Atas dasar kesadaran ini, maka dituntut untuk lebih hati-hati dalam
kebijakan-kebijakan yang diambil setelah melaksanakan evaluasi. Evaluator
menyadari bahwa dalam pengukuran yang dilaksanakan, hanya mengukur sebaglan
(sampel) saja dari suatu kompleksitas yang seharusnya diukur, lagi pula
pengukuran dilakukan hanya pada saat tertentu saja. Maka dapat terjadi salah
satu aspek yang sifatnya menonjol yang dimi liki siswa tidak termasuk dalam
sampel pe¬ngukuran. Inilah yang disebut sampling error dalam evaluasi.
Sumber kesalahan (error) yang lain terletak pada alat/instrument yang diguriakan dalam proses evaluasi. Penyusunan alat evaluasi tidak mudah, lebih-Iebih bila aspek yang diukur sifatnya komplek. Dalam skoring sebagai data kuantitatif yang diharapkan dapat mencerminkan objektivitas, tidak luput dari “error of measurement”. Test obyektif tidak luput dari guessing, main terka, untung-untungan, sedangtest essai subyektivitas penilai masuk di dalamnya. Karena itu dalam laporan hasil evaluasi, evaluator perlu melaporkan adanya kesalahan pengukuran ini. Pengukuran dengan test, kesalahan pengukuran dapat ditunjukkan dengan koefisien kesalahan pengukuran.
Sumber kesalahan (error) yang lain terletak pada alat/instrument yang diguriakan dalam proses evaluasi. Penyusunan alat evaluasi tidak mudah, lebih-Iebih bila aspek yang diukur sifatnya komplek. Dalam skoring sebagai data kuantitatif yang diharapkan dapat mencerminkan objektivitas, tidak luput dari “error of measurement”. Test obyektif tidak luput dari guessing, main terka, untung-untungan, sedangtest essai subyektivitas penilai masuk di dalamnya. Karena itu dalam laporan hasil evaluasi, evaluator perlu melaporkan adanya kesalahan pengukuran ini. Pengukuran dengan test, kesalahan pengukuran dapat ditunjukkan dengan koefisien kesalahan pengukuran.
e. Evaluasi adalah alat, bukan tujuan.
Evaluator menyadari
sepenuhnya bahwa tiap-tiap teknik evaluasi digunakan sesuai dengan tujuan
evaluasi. Hasil evaluasi yang diperoleh tanpa tujuan tertentu akan membuang
waktu dan uang, bahkan merugi¬kan anak didik. Maka dari itu yang perlu
dirumuskan lebih dahulu ialah tujuan evaluasi, baru dari tujuan ini
dikembangkan teknik yang akan di¬gunakan dan selanjutnya disusun test sebagai
alat evaluasi. Jangan sam¬pai terbalik, sebab tanpa diketahui tujuan evaluasi
data-yang diperoleh akan sia-sia. Atas dasar pengertian tersebut di atas maka
kebijakan-kebi¬jakan pendidikan yang akan diambil dirumuskan dulu dengan jelas
sebelumnya dipilih prosedur evaluasi yang digunakan dengan demikian.
7. Konsep Dasar
Diagnostik Kesulitan Belajar
Diagnostik kesulitan belajar adalah suatu upaya untuk
memahami jenis dan karakteristik serta latar belakang kesulitan-kesuliatn
belajar dengan menghimpun dan mempergunakan berbagai data/informasi selengkap
dan subyektif mungkin sehingga memungkinkan untuk mengambil kesimpulan dan
keputusan serta mencari alternative kemungkinan pemecahannya.
7.1 Prosedur dan
Teknik Diagnostik Kesulitan Belajar
Secara umum langkah-langkah pelaksanakan diagnostic
kesulitan belajar selaras dengan langkah-langkah pelaksanaan bimbingan belajar.
Namun secara khusus, langkah-langkah diagnostic kesulitan belajar itu dapat
diperinci lebih lanjut, mengingat pada hakikatnya hanya merupakan salah satu
bagian atau jenis layanan bimbingan belajar.
Burton (1952:640-652)
mengatakan berdasarkan kepada teknik dan instrument yang digunakan dalam
pelaksanaannya sebagai berikut:
General Diagnosis
Pada tahap ini lazim
dipergunakan tes baku, seperti yang dipergunakan untuk evaluasi dan pengukuran
psikologis dan hasil belajar. Sasarannya untuk menemukan saipakah siswa yang
diduga mengalami kelemahan tertentu.
Analystic Diagnostic
Pada tahap ini yang
lazimnya digunakan adalah tes diagnostic. Sasarannya untuk mengetahui dimana
letak kelemahan tersebut.
Psychological diagnosis
Pada tahap ini teknik
pendekatan dan instrument yang digunakan antara lain:
(a)
Observasi (observation);
(b) Analisis
karya tulis (analysis of written work);
(c)
Analisis proses dan respons lisan (analysis of oral responses and account of
procedures);
(d) Analisis
berbagai catata objektif (analysis of objectives record of various types);
(e)
Wawancara (interview);
(f)
Pendekatan laboratories dan klinis (laboratory and clinical methods);
(g) Studi kasus
(case studies);
Sasaran kegiatan diagnosis
pada langkah ini pada dasarnya ditujukan untuk memahami karakteristik dan
faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kesulitan.
Faktor-Faktor Kesulitan
Belajar
Secara garis besar, faktor-faktor penyebab timbulnya kesulitan belajar
terdiri atas dua macam yaitu:
Faktor intern siswa, yakni
hal-hal atau keadaan-keadaan yang muncul dari dalam diri siswa sendiri.
Faktor intern siswa
meliputi gangguan atau kekurangmampuan psiko-fisik siswa, yakni:
a) Yang
bersifat kognitif (ranah cipta), antara lain seperti rendahnya kapasitas
intelektual/intelegensi siswa;
b) Yang
bersifat afektif (ranah rasa), antara lain seperti labilnya emosi dan sikap;
c) Yang
bersifat psikomotor (ranah karsa), antara lain seperti terganggunya alat-alat
indera penglihat dan pendengar (mata dan telinga).
Faktor ekstern siswa, yakni
hal-hal atau keadaan-keadaan yang datang dari luar diri siswa.
Faktor ekstern siswa
meliputi semua situasi dan kondisi lingkungan sekitar yang tidak mendukung
aktivitas belajar. Faktor ini dap
at di bagi menjadi tiga
macam, yaitu:
a)
Lingkungan keluarga, contohnya: ketidak harmonisan hubungan antara ayah dengan
ibu, dan rendahnya kehidupan ekonomi keluarga.
b)
Lingkungan perkampungan/masyarakat, contohnya: wilayah perkampungan kumuh (slum
area), dan teman sepermainan (peer group) yang nakal.
c)
Lingkungan sekolah, contohnya: kondisi dan letak sekolah yang buruk seperti
dekat pasar, kondisi guru serta alat-alat belajar yang berkwalitas rendah.
Mengidentifikasikan Faktor
Penyebab Kesulitan Belajar
Pada dasrnya bila kesulitan
belajar terjadi, latar belakangnya akan bersumber kepada komponen-komponen yang
berpengaruh atas berlangsungnya proses belajar-mengajar sendiri. Menurut Loree
(1970:121-133) ada tiga macam yang mempengaruhi proses belajar-mengajar yaitu:
Stimulus atau learning
variables, mencakup:
1)
Learning experience variables, antara lain mengenai:
(a)
Method variables, yang antara lain menyangkut:
– Kuat
lemahnya motivasi untuk belajar;
–
Intensif tidaknya bimbingan guru;
– Ada
tidaknya kesempatan berlatih atau berpraktik;
– Ada tidaknya
upaya dan kesempatan reinforcement.
(b) Task
variables yang mencakup
– Menarik
tidaknya apa yang harus dipelajari dan dilakukan;
–
Bermakna tidaknya (meaningfulness) apa yang dipelajari dan dilakukan;
– Sesuai
tudaknya (appropriatness); panjang (length) atau luasnya (width) serta tingkat
kesukaran apa yang harus dipelajari dan dikerjakan.
2)
Environmental variables, menyangkut iklim belajar yang bergantung pada
faktor-faktor:
–
Tersedia tidaknya tempat atau ruangan (space) yang memadai;
– Cukup
tidaknya waktu, serta tepat tidaknya penggunaan waktu tersebut untuk waktu
belajar;
– Harmonis tidaknya
hubungan manusiawi baik di sekolah, di rumah maupun di lingkungan masyarakat
yang lebih luas
Organismic variables yang
mencakup:
1)
Characteristic of the learners, antara lain tingkatan intelegensi, usia dan
taraf kematangan, jenis kelamin, kesiapan dan kematangan untuk belajar. Dengan
demikian kelemahan sering disebabkan oleh:
(a)
Kurangnya kemampuan dan keterampilan kognitif;
(b) Terbatasnya
kemapuan, menghimpun, dan mengintegrasikan informasi;
(c)
Kurang gairah belajar karena kurang jelasnya tujuan/inspirasi.
2)
Mediating processes, kondisi yang lazim terdapat dalam diri swasta antara lain
inteligensi, persepsi, motivasi, dorongan, lapar, takut, cemas, kesiapan
konflik, tekanan bathin, dan sebagainya turut berperan pula dalam proses
berprilaku termasuk prilaku belajar.
Response variables,
sebagaimana kita kelompokkan berdasarkan tujuan-tujuan pendidikan yaitu:
1)
Tujuan-tujuan kognitif, seperti pengetahuan, konsep-konsep, keterampilan
pemecahan masalah;
2)
Tujuan-tujuan afektif, seperti sikap-sikap, nilai-nilai, minat, dan apresiasi;
3)
Tujuan-tujuan pola-pola bertindak, antara lain:
– Keterampilan psikomotoris,
seperti menulis, mengetik, kegiatan pendidikan jasmani atau olhraga, melukis,
dan sebagainya;
–
Kompetensi-kompetensi untuk menyelenggarakan pertemuan, berpidato, memimpin
diskusi, pertunjukan, dan sebagainya;
– Kebiasan-kebiasaan
berupa kebiasaan hidup sehat, keamanan, kebersihan, keberanian disertai
kesopanan, ketegasan, ketekunan, kejujuran, kerapian, keserasian, dan
sebagainya.
LANGKAH-LANGKAH
OPERASIONAL DIAGNOSTIK DAN REMIDIAL KESULITAN BELAJAR
Menurut Ross dan Stanley (dalam Hiryanto, tanpa tahun, hlm. 7), ada
beberapa langkah dalam melaksanakan diagnostic kesulitan belajar:
a. Who
are the pupils having trouble? (siapa-siapa siswa yang mengalami gangguan)
b. Where
are the errors located (dimana kelemahan itu dapat dilokalisasikan)
c. Why
are the errors occur? (Mengapa kelemahan itu terjadi?)
d. What
remedies are suggested? (penyembuhan apakah yang disarankan)
e. How
can errors be prevented? (Bgmn kelemahan itu dapat dicegah?)
1. Identifikasi Kasus
Langkah
ini dilakukan dengan menentukan siswa mana yang diduga mengalami kesulitan
belajar. Teknik yang ditempuh dapat bermacam-macam, antara lain:
a. Meneliti
nilai hasil ujian semester yang tercantum dalam laporan hasil belajar (buku
leger), dan kemudian membandingkan dengan nilai rata-rata kelompok atau dengan
kriteria yang telah ditentukan.
b. Mengobservasi
kegiatan siswa dalam proses belajar mengajar, siswa yang berperilaku menyimpang
dalam proses belajar mengajar diperkirakan akan mengalami kesulitan belajar.
2. Identifikasi Masalah
Setelah
menentukan dan memprioritaskan siswa mana yang diduga mengalami kesulitan
belajar, maka langkah berikutnya adalah melokalisasikan pada bidang studi apa
dan pada aspek mana siswa tersebut mengalami kesulitan. Hasil belajar anak pada
beberapa bidang studi tentu saja ada bedanya, guru bedang studi lebih
mengetahui tentang masalah tersebut. Pada tahap ini, kerjasama antara petugas
bimbingan dan konseling, wali kelas, guru bidang studi akan sangat membantu
siswa dalam mengatasi kesulitan belajarnya.
Cara dan
alat yang dapat digunakan, antara lain:
a. Tes
diagnostik yang dibuat oleh guru bidang studi masing-masing, seperti untuk
bidang studi Matematika, IPA, IPS, Bahasa dan yang lainnya. Dengan tes
diagnostik ini dapat diketemukan karakteristik dan sifat kesulitan belajar yang
dialami siswa.
b. Bila
tes diagnostik belum tersedia, guru bisa menggunakan hasil ujian siswa sebagai
bahan untuk dianalisis. Apabila tes yang digunakan dalam ujian tersebut
memiliki taraf validitas yang tinggi, tentu akan mengandung unsur diagnosis
yang tinggi. Sehingga dengan tes prestasi hasil belajar pun, seandainya valid
dalam batas-batas tertentu akan dapat mengdiagnosis kesulitan belajar siswa.
c. Memeriksa
buku catatan atau pekerjaan siswa. Hasil analisis dalam aspek ini pun akan
membantu dalam mendiagnosis kesulitan belajar siswa
Untuk
melengkapi data di atas, dapat dilakukan kerjasama antara pihak yang erat
kaitannya dengan lembaga sekolah dan orang tua. Caranya antara lain:
a. Wawancara
khusus oleh ahli yang berwewenang dalam bidang ini
b. Mengadakan
observasi yang intensif, baik di dalam lingkungan rumah maupun di luar rumah
c. Wawancara
dengan wali kelas, orang tua atau dengan teman-teman di sekolah.
3. Identifikasi Faktor Penyebab Kesulitan
Belajar
Faktor
penyebab kesulitan belajar dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu faktor
internal dan faktor eksternal.
a. Faktor
internal, yaitu faktor-faktor yang berasal dalam diri siswa itu sendiri. Hal
ini antara lain, disebabkan oleh:
– Kelemahan
fisik, pancaindera, syaraf, cacat karena sakit, dan sebagainya
– Kelemahan
mental: faktor kecerdasan, seperti inteligensi dan bakat yang dapat diketahui
dengan tes psikologis
– Gangguan-gangguan
yang bersifat emosional
– Sikap
kebiasaan yang salah dalam mempelajari materi pelajaran
– Belum
memiliki pengetahuan dan kecakapan dasar yang dibutuhkan untuk memahami materi
pelajaran lebih lanjut.
b. Faktor
eksternal, yaitu faktor yang berasal dari luar diri siswa sebagai penyebab
kesulitan belajar. Yang termasuk dalam factor eksternal antara lain:
– Situasi
atau proses belajar mengajar yang tidak merangsang siswa untuk aktif
antisipatif (kurang memungkinkan siswa untuk belajar secara aktif “student
active learning”)
– Sifat
kurikulum yang kurang fleksibel
– Beban
studi yang terlampau berat
– Metode
mengajar yang kurang menarik
– Kurangnya
alat dan sumber untuk kegiatan belajar
– Situasi
rumah yang kurang kondusif untuk belajar.
Untuk
memperoleh berbagai informasi di atas, dapat menggunakan berbagai cara dan
bekerjasama dengan berbagai pihak yang berhubungan dengan kegiatan ini.
Misalnya, untuk mendapatkan informasi tentang keadaan fisik siswa, perlu
bekerjasama dengan dokter atau klinik sekolah, untuk memperoleh data tentang
kemampuan potensial siswa dapat bekerjasama dengan petugas bimbingan dan
konseling (konselor) atau dengan psikolog, untuk mengetahui sikap dan kebiasaan
belajar siswa dapat mengamatinya secara langsung di kelas, menggunakan skala
sikap dan kebiasaan belajar, wawancara dengan wali kelas, dengan orang tua,
dengan siswa itu sendiri, atau dengan teman-temannya, dan masih banyak cara
yang dapat ditempuh.
4. Prognosis (Perkiraan Kemungkinan Bantuan)
Setelah
mengetahui letak kesulitan belajar yang dialami siswa, jenis dan sifat
kesulitan dengan faktor-faktor penyebabnya, maka akan dapat memperkirakan
kemungkinan bantuan atau tindakan yang tepat untuk membantu kesulitan belajar
siswa. Pada langkah ini, hal yang dapat disimpulkan adalah:
a. Apakah
siswa masih dapat ditolong untuk dapat mengatasi kesulitan belajarnya atau
tidak?
b. Berapa
waktu yang dibutuhkan untuk mengatasi kesulitan yang dialami siswa tersebut?
c. Kapan
dan di mana pertolongan itu dapat diberikan?
d. Siapa
yang dapat memberikan pertolongan?
e. Bagaimana
caranya agar siswa dapat ditolong secara efektif?
f. Siapa
sajakah yang perlu dilibatkan atau disertakan dalam membantu siswa tersebut,
dan apakah peranan atau sumbangan yang dapat diberikan masing – masing pihak
dalam menolong siswa tersebut?
5. Referral
Langkah
ini dilakukan dengan menyusun suatu rencana atau alternatif bantuan yang akan
dilaksanakan. Rencana ini hendaknya mencakup:
a. Cara-cara
yang harus ditempuh untuk menyembuhkan kesulitan belajar yang dialami siswa
yang bersangkutan
b. Menjaga
agar kesulitan yang serupa jangan sampai terulang lagi.
Dalam
membuat rencana kegiatan untuk pelaksanaan sebagai alternatif bantuan,
sebaiknya didiskusikan dan dikomunikasikan dengan pihak-pihak yang dipandang
berkepentingan, yang diperkirakan kelak terlibat dalam proses pemberian bantuan
(Sugiyanto, tanpa tahun, hlm. 20-24).
Salah
satu solusi untuk perbaikan siswa yang mengalami kesulitan belajar yaitu dengan
dilakukannya pembelajaran remedial. Menurut Rusmana (2010, hlm. 4),
pembelajaran remedial adalah pembelajaran yang dilakukan oleh guru untuk
memperbaiki mutu siswa dan guru setelah melalui suatu proses diagnostic.
Hiryanto (tanpa tahun, hlm. 14) berpendapat bahwa pembelajaran remedial yaitu
Suatu proses pelaksanaan program belajar mengajar khusus bersifat individual
diberikan kepada siswa yang mengalami kesulitan belajar, bersifat mengoreksi (menyembuhkan)
siswa yang mengalami gangguan belajar.
Sugiyanto
(tanpa tahun, hlm. 26-27) menyebutkan beberapa langkah yang dapat ditempuh
dalam melaksanakan remedial. Langkah – langkat tersebut adalah:
a. Langkah
pertama: Penelaahan Kasus Kembali
Guru
menelaah kembali secara lebih dalam tentang siswa yang akan diberi bantuan.
Dari diagnosis kesulitan belajar yang sudah diperoleh lebih dahulu guru perlu
menelaah lebih jauh untuk memperoleh gambaran secara definitif tentang siswa
yang dihadapi, permasalahannya, kelemahannya, letak kelemahan, penyebab utama
kelemahan, berat ringannya kelemahan, apakah perlu bantuan ahli lain,
merencanakan waktu dan siapa yang melaksanakan.
b. Langkah
kedua: Alternatif Tindakan
Setelah
memperoleh gambaran lengkap tentang siswa, baru direncanakan alternatif
tindakan, sesuai dengan karakteristik kesulitan siswa. Alternatif pilihan
tindakan bagi kasus yang mendapatkan kesulitan di dalam belajar, maka langsung
saja melakukan remedial, dan jika ditemukan kasus yang memiliki kesulitan
belajar dan memiliki masalah di luar itu, seperti masalah sosial psikologis dan
sebagainya, maka sebelum diremedial kasus harus mendapatkan layanan konseling,
layanan psikologis dan atau layanan psikoterapis terlebih dahulu.
Alternatif
tindakan ini dapat berupa:
1) Mengulang
bahan yang telah diberikan dan diberi petunjuk-petunjuk:
– Memahami
istilah-istilah kunci/pokok yang ada
– Memberi
tanda bagian-bagian penting yang merupakan kelemahan siswa
– Membuat
pertanyaan-pertanyaan untuk mengarahkan siswa
– Memberi
dorongan dan semangat belajar
– Menyediakan
bahan-bahan lain untuk mempermudah
– Mendiskusikan
kesulitan-kesulitan siswa
2) Memberi
kegiatan lain yang setara dengan kegiatan belajar mengajar yang sudah ditempuh.
Disini dimaksudkan untuk memperkaya bahan yang telah diberikan kepada siswa,
misalnya:
– Kegiatan
apa yang harus dikerjakan siswa
– Bahan
apa yang dapat menunjang kegiatan yang sedang dilakukan
– Bagian
mana yang harus mendapat penekanan
– Pertanyaan
apa yang diajukan untuk memusatkan pada inti masalah
– Cara
yang baik untuk menguasai bahan
3) Tindakan
yang berupa referal Jika kesulitan belajar disebabkan oleh faktor sosial,
pribadi, psikologis yang di luar jangkauan guru, maka guru melakukan alih
tangan kepada ahli lain, misalnya: konselor, psikolog, terapis, psikiater,
sosiolog, dan sebagainya.
c. Langkah
ketiga: Evaluasi pengajaran remedial
Pada
akhir pengajaran remedial perlu dilakukan evaluasi, seberapa pengajaran
remedial tersebut meningkatkan prestasi belajar. Tujuannya untuk mencapai
tingkat kebehasilan 75% menguasai bahan. Jika belum berhasil, kemudian
dilakukan diagnosis kembali, prognosis dan pengajaran remedial berikutnya;
demikian seterusnya sampai beberapa siklus hingga tercapai tingkat keberhasilan
tersebut.
Pendekatan
yang dilakukan dalam pengajaran remedial meliputi tiga macam, yaitu:
a. Pengajaran
preventif, diberikan kepada siswa untuk mengantisipasi jangan sampai menemui
kesulitan
b. Pendekatan
kuratif, diberikan kepada siswa yang telah mengalami kesulitan dalam proses
belajar mengajar, sehingga perlu disembuhkan atau dikoreksi
c. Pendekatan
developmental, di mana guru secara terus menerus memonitor kegiatan belajar
mengajar, yang setiap ditemui hambatan segera dipecahkan. Guru secara
sistematis mengikuti perkembangan siswa
IMPLIKASI
Sebagai guru mata pelajaran, untuk membantu peserta didik mencapai tugas
perkembangannya, kita harus memberikan pengalaman belajar yang mudah diterima
oleh peserta didik kita. Dalam pelaksanaannya, tidak dapat dipungkiri adanya
kendala – kendala yang akan kita lalui, misalnya adanya beberapa peserta didik
kita yang mengalami kesulitan belajar.
Untuk mengetahui beberapa kesulitan belajar yang dialami oleh peserta didik,
guru mata pelajaran dapat melakukan beberapa cara, di antaranya yaitu:
identifikasi kasus; identifikasi masalah; identifikasi factor penyebab masalah;
prognosis; dan referral (yang telah dijelaskan di atas). Untuk melaksanakan
diagnose kasulitan belajar peserta didik, kerja sama dengan pihak lain –
seperti wali kelas, orang tua, guru dan teman sebaya – sangat dibutuhkan,
apalagi saat melakukan langkah identifikasi masalah sampai dengan langkah
referral.
Pada langkah referral, guru menentukan bantuan yang dapat diberikan kepada
peserta didik yang mengalami kesulitan. Bantuan yang diberikan dapat bermacam –
macam, biasanya bantuan akhir yang diberikan adalah pembelajaran remedial –
untuk penyebab kesulitan belajar tertentu, ada bantuan khusus yang diberikan
sebelum dilakukan pembelajaran remedial kepada peserta didik yang mengalami
kesulitan –. Dalam melaksanakan pembelajaran remedial juga dilakukan langkah –
langkah khusus, yaitu penelaahan kasus kembali, memberikan alternatif tindakan
yang diberikan pada peserta didik, kemudian dilakukan evaluasi pengajaran
remedial. Pembelajaran remedial yang dilakukan perlu dilaksanakan dengan
menggunakan pendekatan – pendekatan tertentu, seperti pendekatan kuratif,
preventif, dan development. Hal tersebut dilakukan agar kesulitan yang dialami
peserta didik dapat diatasi, kemudian siswa dapat berkembang secara terus –
menerus sehingga ketika mengalami kesulitan yang sama, siswa mengatasi
kesulitan tersebut dengan sendirinya.
No comments:
Post a Comment